METROPOLITAN - Tragedi berdarah saat rapat persiapan Lomba MTQ pada Agustus 2017 saat ini sudah memasuki sidang ketiga di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Kabupaten Bogor. Peristiwa memalukan yang telah mencoreng Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Bumi Tegar Beriman itu sempat menjadi sorotan berbagai kalangan. Persidangan kali ini digelar untuk mendengarkan pengakuan para saksi yang mengetahui peristiwa tersebut.
KORBAN pemukulan yang saat ini menjabat Sekretaris Kecamatan Kemang, Ridwan, mengatakan, penganiayaan itu berlangsung ketika dirinya tengah memimpin rapat. Inilah yang membuat camat, yakni Ahmad Sofian, naik pitam dan langsung memukulnya secara membabi-buta. Pria yang kini berstatus tersangka itu kini menjabat sebagai sekretaris Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Bogor.
“Rapat yang saya pimpin itu berkaitan dengan tugas yang diberikan Bupati Bogor Nurhayanti yakni sebagai ketua Lomba MTQ tingkat Kecamatan Tamansari,” kata Ridwan. Akibat dirinya mengadakan rapat, sang camat pun berang dan memukulnya empat kali, tepat di bagian wajah sebelah kiri. Sedangkan pipi kanannya menerima bogem mentah.
“Ketika pertama kali masuk, saya yang lagi pimpin rapat langsung dipukul. Lalu saya berdiri dan menanyakan kenapa dipukul. Eh pak camat malah naik pitam dan kembali memukul,” bebernya. Sementara ketika pemeriksaan saksi berlangsung dalam ruangan, staf kecamatan yang kini menjabat kasi kesra, Tjetje, membenarkan telah terjadi pemukulan di ruang rapat kantor kecamatan Tamansari. “Benar ada pemukulan yang dilakukan pak camat kepada pak sekcam.
Tapi, kami tidak tahumenahu sebabnya,” kata Tjetje. Sidang yang diketuai Ben Ronald P Situmorang, Chandra Gautama dan Tira Tirtona itu mengatakan, agenda selanjutnya dilakukan pekan depan untuk mendengarkan keterangan saksi ahli. Terpisah, kuasa hukum korban dari kantor Hukum Bintang dan Partner, Anggi Triana Ismail, mempertanyakan kenapa terdakwa Ahmad Sofian tidak ditahan di Lapas Pondokrajeg, Kecamatan Cibinong.
”Secara hukum memang hak terdakwa untuk mengajukan penangguhan penahanan. Akan tetapi JPU seharusnya melihat antropologi hukum. Apalagi, kasus ini sudah menjadi sorotan publik dan jaksa sendiri adalah JPU,” terangnya. Anggi pun menduga ada unsur politik yang bermain dan itu sangat memungkinkan yaitu dugaan penguatan penangguhan dari Bupati Bogor, Nurhayanti.
”Kami sebagai kuasa hukum korban tak dapat koordinasi dari jaksa soal penangguhan penahanan terdakwa. Apalagi kasus ini sudah terkatungkatung setahun lebih. Apalagi kalau merujuk UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 88 (1) poin c harusnya teedakwa diberhentikan sementara sejak ditetapkan sebagai terdakwa,” tukasnya. (mul/b/yok/py)