METROPOLITAN – Kontroversi Program Sekolah Ibu di Kota Bogor hingga kini masih menjadi bahan perbincangan hangat di sejumlah kalangan. Dampak yang diberikan bagi Kota Hujan rupanya tidak sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan. Hingga kini ketidakjelasan alumni pasca-mengikuti Sekolah Ibu menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Terlebih, beberapa poin ditengarai tidak ada dampak positif akan keberadaan program yang secara resmi diberlakukan pada Juli 2018 tersebut. Menekan angka kekerasan terhadap anak adalah salah satu poin yang termaktub sekaligus menjadi alasan kuat adanya Sekolah Ibu di Kota Bogor. Meski Sekolah Ibu diyakini sebagai program ampuh dalam menekan angka tersebut, fakta di lapangan berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Bogor, sejak 2017 ada 30 kasus kekerasan terhadap anak. Angka itu terus meningkat saat memasuki 2018. Sebanyak 46 kasus ditangani KPAI Kota Hujan. Sementara menurut data Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Bogor, sejak 2017 tercatat ada 57 kasus kekerasan terhadap anak di Kota Hujan yang masuk catatan. Sementara jika mengacu pada data dari sumber yang sama pada 2018, angka tersebut meningkat menjadi 63 kasus. Hal itu tentu menjadi tanda tanya besar bagi Kota Hujan yang menyandang status sebagai Kota Layak Anak. Tak hanya itu, banyaknya peserta dengan latar belakang Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) kelurahan, kader posyandu hingga kaum ibu yang merupakan sanak-saudara dari ketua RT dan RW di setiap kelurahan, seolah menjadikan program tersebut terkesan hanya untuk sekelompok dan golongan orang tertentu. Hal itu perlu digarisbawahi lantaran Sekolah Ibu merupakan program bagi masyarakat umum. Selain tidak memiliki dampak besar terhadap Kota Hujanhingga ketidakjelasan bagi alumninya, Sekretaris Komisi IV DPRD Kota Bogor, Atty Somaddikarya, menilai Sekolah Ibu terlalu didominasi segelintir orang. Terlebih, mereka yang ikut ambil bagian dalam PKK juga kaum ibu yang aktif menjadi kader posyandu di setiap kelurahan. “Peserta Sekolah Ibu biasanya hampir sebagian besar didominasi kader PKK, kader posyandu hingga istri RT. Tentu ini perlu digarisbawahi bagi semuanya,” ujarnya. Atty sangat menyayangkan APBD daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk keperluan lebih penting terbuang percuma. Sebab, sebelum dikeluarkannya anggaran Sekolah Ibu, anggaran tersebut rencananya dialokasikan untuk kebutuhan sosial di 68 kelurahan Kota Hujan. “Awalnya anggaran Sekolah Ibu pada 2019 akan dialihkan untuk kebutuhan lebih penting, seperti penyediaan mobil ambulans bagi 68 kelurahan di enam kecamatan Kota Bogor,” bebernya. Sementara itu, seorang peserta Sekolah Ibu di Kelurahan Mekarwangi, Nurhasanah, membenarkan adanya dominasi golongan ibu tertentu dalam program Sekolah Ibu di kelurahannya. Ia mengaku tidak mengetahui pasti jika hal serupa terjadi di beberapa kelurahan lain di Kota Hujan. “Kalau soal itu saya kurang tahu pasti. Tapi ada juga kok peserta dari ibu-ibu PKK dan para kader,” aku wanita yang akrab disapa Nui itu. Lalu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Bogor, Artiana Yanar Anggraeni, mengaku tidak bisa membenarkan secara pasti fenomena tersebut lantaran keterbatasan akses di setiap kelurahan dan data yang ada. Meski begitu, pihaknya tidak terlalu mempermasalahkan dominasi golongan tertentu dalam program Sekolah Ibu. Bahkan, ia seolah mendukung adanya dominasi golongan ibu tertentu dalam program yang memakan anggaran Rp3.800.440.000 miliar tersebut. Hal itu sangat disayangkan karena program Sekolah Ibu bukan milik segelintir orang. “Kalau benar atau tidaknya saya tidak tahu persis. Kalaupun itu terjadi, menurut saya pribadi sih sah-sah saja, karena mereka adalah pioner tangguh yang jadi panutan di setiap kelurahan. Mereka yang mau bergerak dan menggerakkan,” pungkasnya. (ogi/c/yok/py)