METROPOLITAN – Pemanggilan kepada Ketua RW 06 Desa Watesjaya, Djaja Mulyana, beserta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ahmad Yani yang sempat menyulut emosi ratusan warga hingga sempat terjadi kericuhan di depan Mapolres Bogor, dinilai salah satu motif keji untuk menurunkan semangat warga dalam mempertahankan lahan pemakaman umum yang sudah ada sejak 1834.
Perebutan makam umum dengan MNC Land, salah satu anak perusahaan MNC Group ini diduga melibatkan Aparat Penegak Hukum (APH). Hal ini dikatakan Kuasa Hukum warga dari kantor Hukum Sembilan Bintang, R Anggi Triana Ismail mengatakan, pemanggilan atas kedua kliennya dinilai terlalu mengada-ada. Lantaran, pasal yang digunakan pihak kepolisian, mengarah kepada usaha menghalang-halangi petugas dalam proses pengeksekusian lahan makam yakni, pasal 178 dan pasal 335. Padahal kedua kliennya memiliki tugas dan tanggung jawab tersendiri, kedapa warganya lantaran keduanya merupakan unsur pimpinan di wilayah tersebut. “Padahal mereka itu punya wewenang, karena sebagai ketua RW 06 dan BPD yang secara moral memiliki tanggung jawab kepada masyarakat akan ke khawatirannya yang memungkinkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, bukan niatan untuk meghalang-halangi,” kata Anggi. Menurutnya, pemanggilan terhadap Djaja Mulyana beserta Ahmad Yani terlalu dipaksakan dan ada motif tertentu didalamnya. Anggi sangat menyesalkan mudahnya aparat penegak hukum (APH) menerima laporan begitu saja. “Ini laporan terlalu dipaksakan. Kami menduga tujuannya adalah politis, untuk membuat ompong gerakan masyarakat, karena orang-orang ini memiliki peran vital dalam gerakan dalam membela masyarakat. Ini namanya pola neo orde baru, lagi-lagi hukum dijadikan alat politik yang tidak berdasar, aparat itu harus netral,” sesalnya. Anggi mengaku, menurunkan lima pengacara Kantor Hukum Sembilan Bintang, untuk menjemput Djaja Mulyana beserta Ahmad Yani, agar bisa terlepas dari tuduhan dua pasal yang mengarah kepadanya. “Tentu ini perlu menjadi catatan tersendiri, ketika para pencari keadilan tidak mendapatkan ruang keadilan untuk dirinya. Bahkan cendurung disalahkan atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan,” bebernya. Seperti diberitakan sebelumnya, pihaknya merasa hak kliennya dirampas keadilannya oleh penegak hukum yang melakukan eksekusi semena-mena. Tanah yang masih dalam sengketa tidak diperkenankan dieksekusi, sebelum adanya putusan inkrah dari pengadilan. Apalagi, sambung dia, pengamanan relokasi makam gabungan yang dipimpin Polres Bogor pada 23 Januari itu datang tanpa ada surat perintah yang jelas, sehingga ditolak warga yang berbuntut pertengkaran fisik. Namun pembongkaran terus dipaksakan tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan. “Sejak awal kan ahli waris tidak setuju makam dipindahkan, ini kaitan tanah leluhur yang punya nilai historis. Juga caranya yang seakan-akan penegak hukum tidak berlaku semestinya,” paparnya. Sementara itu, menanggapi soal tuduhan adanya oknum yang menunggangi kasus tersebut, Ketua Forum Perlawanan Pemuda Bogor (FPPB), Ahmad Fauzi dengan tegas mengatakan, gerakan yang dilakukan masyarakat merupakan bentuk dari perjuangan masyarakat yang ingin menjaga lahan. Pasalnya lahan tersebut sudah ada sejak 1834, juga diyakini sebagai warisan dari generasi kegenerasi. “Ini merupakan murni gerakan hati masyarakat, yang menilai tanah tersebut sebagai tanah warisan leluhur yang harus dijaga dari generasi kegenerasi,” tegas mantan aktivis PMII tersebut. Bahkan, dirinya menyesalkan pernyataan Kabagops Polres Bogor, yang menilai aksi masyarakat itu ditunggangi segelintir kelompok dengan memanfatkan lahan makam. “Seharusnya polisi itu bertindak netral, ini jelas-jelas ratusan warga sekitar mendatangi Polres Bogor untuk menuntut keadilan, eh malah bilang ini ditungangi. Tolong dong berpikir bijak dan adil, jangan-jangan ini ada pesanan dari pengusaha lagi,” cetusnya. Apalagi, sambung dia, ratusan warga di Kampung Ciletuh Ilir siap pasang badan jika sampai makam yang ada di tanah wakaf leluhur itu dipindahkan. Terpisah, Kapolres Bogor, AKBP AM Dicky tidak membalas konfirmasi terkait netralitas pihak kepolisian dalam menangani kasus sengketa mekam yang dikirimkan wartawan koran ini. (ogi/c/yok)