METROPOLITAN – Program Nongol Babat (Nobat) yang digalakkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor terkait Tempat Hiburan Malam (THM) selama Ramadan dan bangunan liar yang digunakan ajang prostitusi dan kencan singkat, kini menyasar wilayah Puncak dan sekitarnya. Apalagi nyatanya, bukan hanya bangunan kamar di atas lahan milik warga yang diincar aparat Satpol PP Kabupaten Bogor. Bangunan lahan milik Perum Perhutani di lokasi tersebut pun jadi sasaran lantaran menyalahi aturan.
Kepala Bidang (Kabid) Penegak Perundang-undangan pada Satpol PP Kabupaten Bogor, Agus Ridho, membenarkan bahwa dari lokasi Sukatani dan Naringgul di Kecamatan Cisarua ada lahan perusahaan pelat merah yang disalahgunakan menjadi kamar ilegal alias esek-esek. Ia menegaskan, banyak laporan bahwa daerah tersebut seringkali dipakai pasangan di luar nikah, praktik prostitusi hingga anak-anak SMA untuk ‘nyakedeung’ atau dikenal kencan singkat alias short-time.
“Betul, ada bangunan ilegal di atas Perhutani untuk tempat ‘nyakeudeung’,” katanya saat ditemui Metropolitan, akhir pekan lalu.
Agus menambahkan, pihaknya tak bisa memastikan berapa jumlah bangunan ilegal di Sukatani dan Naringgul yang akan dibongkar. Hanya saja dia menyebut jumlahnya tidak sedikit. Apalagi untuk bangunan di Sukatani sejak lama menjadi incaran korps Penegak Peraturan Daerah (Perda) lantaran pernah dibongkar pada 2013. Namun kini berdiri kembali dan menjamur jadi tempat penyakit masyarakat. “Banyak (bangunan ilegal di lahan Perhutani, red) itu. Ada juga yang milik orang lokal lalu banyak juga punya orang Jakarta. Ke depan (Sukatani, red) harus dieksekusi, itu kan yang ilegal semua,” paparnya.
Sejauh ini, sambung dia, rencana pembongkaran oleh Pemkab Bogor di wilayah tersebut belum diketahui dan belum ada koordinasi dengan Perum Perhutani. Sebab yang menjadi dasar dari pembongkaran terkait program nobat dan bangunan ilegal untuk praktik prostitusi.
Pria berkacamata itu menambahkan, sama halnya dengan di Sukatani, bangunan di Naringgul juga ilegal dan merupakan tanah perkebunan. “Rencana pembongkaran? (Perhutani) Belum (tahu rencana pembongkaran),” imbuh Agus.
Sebelumnya, keberadaan Kampung Naringgul 1, Naringgul 2 dan Sukatani, sudah ada sejak 1970. Hal itu diungkapkan tokoh masyarakat sekitar, Haji Kusmana. Ia menuturkan, sejak 1970 hingga 1980 tidak banyak rumah di kampung tersebut. Hanya ada beberapa rumah dinas milik PTPN Gunung Mas dan beberapa rumah warga. Namun memasuki 1990 hingga 2000, banyak warga yang berjualan membangun rumah dan para pejabat yang membangun vila di kawasan yang seharusnya menjadi perkebunan teh tersebut.
Keberadaan kamar yang kerap dijadikan tempat mesum sungguh menyayat hati Haji Kusmana. Betapa tidak, ia yang dipercaya menjadi tokoh agama di kampungnya kerap diminta sejumlah masyarakat untuk melarang warganya menyewakan kamar untuk berbuat mesum. Namun setelah dilakukan malah timbul konflik yang memecah warga Sukatani dan Naringgul. “Susah dikasih tahunya juga. Bukan sekali atau dua kali mereka dikasih tahu,” kata Kusmana.
Saat dikonfirmasi terkait keberadaan kamar mesum di lahan Perhutani, Wakil Kepala ADM Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, Moch Suparjo, berkilah jika pihaknya belum pernah menerima laporan soal bangunan yang dipakai asusila yang berdiri di atas tanah negara.
Namun, ia mengakui ada aturan yang membolehkan warga setempat menggunakan lahan Perhutani untuk dikelola. “Kebanyakan memang digunakan lahan pertanian melalui program Kulin KK, mitra kelompok tani yang aturannya ada dalam peraturan menteri. Misalnya ditanami apa untuk meningkatkan produktivitas warga sekitar. Kalau untuk bangunan yang digunakan lokalisasi, belum pernah ada laporan. Mungkin di lahan milik warga,” katanya kepada awak media.
Namun, ia memastikan jika ada lahan Perhutani yang digunakan sebagai ajang esek-esek, baik bangunan kerja sama dengan warga atau berbentuk lokasi wisata, bakal ditindak dan diproses sesuai aturan. Sebab, dalam aturan kerja sama tidak boleh digunakan tidak semestinya. “Di sana kan banyak vila-vila ya. Secara umum, pengaduan itu atau warung remang-remang, belum ada. Kita pastikan dulu. Kalau disalahgunakan yang tidak baik, ya akan kita proses,” ujarnya.
Tak puas dengan jawaban Suparjo, Metropolitan kembali mengonfirmasi Kepala ADM KPH Bogor, Ade Soma. Ade mengaku tidak mengetahui adanya bangunan yang disewakan dengan harga Rp55.000 setiap jamnya. “Setahu saya ada juga di Citamiang, memang ada pondokan yang dikelola Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Ada sekitar lima pondokan,” katanya.
Sedangkan untuk kamar mesum yang dipatok Rp50.000 per jam, Ade membantahnya bila itu bagian dari kerja sama Perum Perhutani. “Kalau bangunan yang disewakan Rp55.000 setiap jamnya itu tidak benar. Karena yang dikelola di Citamiang itu tarifnya Rp300.000 semalam. Pemesanannya pun bisa melalui online,” pungkasnya. (ryn/c/yok/py)