Senin, 22 Desember 2025

Proyek Surken Tahap II Terancam Molor

- Jumat, 27 September 2019 | 09:14 WIB
POLEMIK: Pelebaran trotoar tahap II kini belum ada kesepakatan dengan beberapa warga pemilik toko di Jalan Surken.
POLEMIK: Pelebaran trotoar tahap II kini belum ada kesepakatan dengan beberapa warga pemilik toko di Jalan Surken.

METROPOLITAN – Proyek ambisius Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dalam menata kawasan Jalan Suryakencana dengan membangun pedestrian tahap kedua terus mengundang polemik. Meskipun sudah menetapkan pemenang, proyek senilai Rp14 miliar itu dikeluhkan pemilik toko lantaran kurangnya sosialisasi dan keberatan soal jumlah ukuran pelebaran trotoar jika harus menjadi 3,5 meter dari lebar eksisting. Bolak-balik mengukur ulang dan sosialisasi dengan warga pemilik toko belum membuahkan titik temu. Pemkot belakangan melunak dengan sepakat mengubah ukuran hanya menjadi tiga meter, yang kemudian akan dibahas bareng warga yang keberatan. Janji untuk membuka gambar sebagai bahan kajian yang akan disepakati masih ditunggu warga. “Perjanjian waktu lalu itu, pemkot kasih lihat gambar, baru action. Tapi sampai detik ini, gambar yang dijanjikan untuk disepakati bersama yang tertuang secara formal hitam di atas putih antara warga dengan pemkot belum kami terima,” beber Koordinator Warga Pemilik Toko Suryakencana, Mardi Lim. Apalagi, pekerjaan pembongkaran mulai dilakukan, di antaranya Klenteng Hok Tek Bio hingga Plaza Bogor dan sebagian Jalan Bata. Pihaknya pun buru-buru meminta kejelasan dari pemkot soal hal ini. “Kok sudah mulai, padahal komitmen dan gambar belum beres. Alasannya, pekerja yang memulai, sedangkan mereka minta dihentikan,” terangnya. Para warga, menurutnya, bukan tidak mau mendukung penataan kawasan. Namun komitmen dan kajian bersama warga harus dilakukan. Tidak sebatas melihat potensi sesuai visi-misi Kota Bogor, tapi juga memperhatikan warga terdampak. Ia berharap gambar terbaru segera sampai ke meja warga lantaran waktu terus berjalan. Sedangkan penyedia jasa sudah harus bekerja. Jalan Surken termasuk area aktif dimana pembangunan harus dilakukan dengan komunikasi yang tegas, seperti berapa lama pembongkaran dan pembangunan. “Kita juga bisa atur jadwal, misal kedatangan atau pengiriman barang, transaksi dan lain pasti terganggu. Itu harus jadi patokan makanya jadwal juga harus jelas dibuka. Kan katanya kemarin jadinya cuma nambah setengah meter, jadinya 2,5 atau 3, itu jelas dulu. Masa lelangnya sudah beres, tapi gambar nggak ada? Ngitungnya pakai apa?” paparnya. Hal itu mendapat perhatian dari Pemerhati Konstruksi, Ferry Darmawan. Melihat gejolak yang ada, padahal sudah ada pemenang, tentu berpengaruh pada waktu pekerjaan. Sehingga imbas keterlambatan penyelesaian pun mengancam. Dengan sisa waktu sekitar tiga bulan, sedangkan banyak pekerjaan yang harus dilakukan, seperti pemasangan boks utilitas, boks culvert untuk saluran PJU dan lainnya. “Seperti kurang koordinasi dengan warga. Terbukti pak wali sempat turun kembali ngukur, padahal sudah ada pemenang. Perencanaan nggak bulat. Apabila muncul perubahan desain karena warga Surken tidak sepakat dengan pelebaran, kenapa baru sekarang bisa terungkap? Kenapa pas perencanaan sebelum lelang warga Surken tidak dilibatkan? Secara konstruksi itu mengganggu waktu,” jelasnya. Setelah bolak-balik pengukuran, pelebaran trotoar diubah dari dua meter eksisting menjadi 3,5 meter, kini desain diubah menjadi tiga meter saja. Wali Kota Bogor, Bima Arya, masih mencari titik temu soal penataan pedestrian Surken ini. Bolak-balik mengukur ulang dan sosialisasi kepada masyarakat, ia pun sepakat mengurangi jumlah pelebaran pedestrian dari desain yang ada. “Kita sepakat membatalkan, trotoar tidak usah besar, (yang penting) cukup untuk box utility dan Penerangan Jalan Umum (PJU). Paling ditambah setengah meter, jadi hanya 3 meter. Ini format yang kami tawarkan. Usulan kami ini, silakan dimatangkan lagi dengan warga,” katanya. Ia seakan baru ‘ngeh’ bahwa kebutuhan warga di sini bukan hanya trotoar, tapi juga butuh akses parkir yang malah bisa merugikan omzet pemilik toko sampai 70 persen apabila kesulitan parkir. “Kita sudah memetakan, mana toko yang harus punya akses kendaraan. Memang bukan cuma soal keindahan, tapi juga kesejahteraan. Beberapa waktu lalu ada masukan konsep Dragon Spike supaya bisa menampung kantung parkir,” ujarnya. Namun, sambung Bima, kajian itu sudah dilakukan dengan memunculkan plus minus. Bisa mengakomodasi PJU dan tempat duduk, box utility, parkir dan loading barang, tapi riskan persoalan keamanan, baik kendaraan dan pejalan kaki. Apalagi pada malam hari. “Karena itu kita coba menyusun pemikiran lain biar ketemu format mana yang paling pas,” tutupnya. (ryn/c/yok/py)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X