METROPOLITAN - Kekeuhnya Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor yang sedang menggodok rancangan peraturan daerah soal alternatif pembiayaan demi percepatan pembangunan menjadi polemik antara eksekutif dengan legislatif. Banyak pihak mempertanyakan mengapa sampai harus berhutang demi pembangunan infrastruktur lantaran berpotensi membebani Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di masa mendatang. Meski begitu, Wali Kota Bogor Bima Arya justru menyatakan kalau wacana alternatif pembiayaan infrastruktur di luar APBD sangat urgen lantaran kemampuan APBD Kota Bogor yang sangat terbatas padahal kebutuhan pembangunan di berbagai sektor dan wilayah cukup banyak. Serta tidak bisa melulu bantuan dari pemerintah provinsi atau pemerintah pusat saja. "Sangat urgen. Jadi presiden dan gubernur Jawa Barat akan memerintahkan seluruh kepala daerah untuk elaborasi semua sumber pembiayaan daerah ditengah keterbatasan APBD dan nggak cukup andalkan bantuan pemerintah pusat dan provinsi," katanya saat ditemui Metropolitan usai salat Jumat di Balai Kota Bogor, kemarin. Beberapa opsi diantaranya dana umat, CSR, KPBU dan Obligasi yang semuanya harus dielaborasi mana yang memungkinkan dan lebih menguntungkan. Sejauh sesuai aturan. Ia mengakui, mulus tidaknya kebijakan ini akan sangat tergantung pada pembicaraan dengan anggota DPRD Kota Bogor. "Kalau ada yang bilang bisa membebankan APBD kita di masa mendatang, ya tergantung pembicaraan dengan DPRD lah. Seperti pinjaman daerah, itu ada yang sifatnya dicicil. Makanya semua perlu kesepakatan bersama, dengan DPRD," ujar pria 46 tahun itu. Bima sendiri belum bisa memastikan berapa angka yang dibutuhkan jika memang skema hutang itu bisa mulus terlaksana. Yang jelas, dengan APBD 2020 yang 'hanya' Rp2,5 triliun, tidak cukup membiayai berbagai kebutuhan infrastruktur yang dikeluhkan masuarakat, namun tak terkaver APBD. Terpenting, masuk dalam program prioritasnya, yakni kualitas hidup warga, infrastruktur dan reformasi birokrasi "Butuh banyak lah. Warga banyak minta dibantu, bangun jalan, jembatan, PAUD, Posyandu, RTLH (Rumah Tidak Layak Huni, red) misalnya. Yang banyak muncul di Musrenbang, tapi kita belum hitung pasti angka butuhnya berapa," papar Wakil Ketua Umum PAN itu. Kebijakan ini dianggap penting lantaran menjadi perintah presiden Jokowi dan arahan gubernur langsung sehingga se-Indonesia pastinya sepakat semua, termasuk para anggota dewan yang saat ini masih menolak wacana hutang ini. "Pasti sepakat. Tinggal teknisnya sekarang mana yang perlu didanai obligasi daerah, mana yang lewat KPBU, Kalau infrastruktur kan mendesak. Misalnya LRT mau masuk dua tahun lagi, nah kita harus punya sistem transportasi penunjangnya. Itu mendesak," tutur Bima. Wacana kbijakan hutang ini terus mengundang kontroversi dan penolakan dari anggota DPRD lantaran ketidakjelasan tujuan dan urgensi sampai harus meminjam dengan dalih percepatan pembangunan. Wakil Ketua I DPRD Kota Hujan, Jenal Mutaqin, mengatakan, hingga kini dirinya belum melihat urgensi yang jelas dari usulan perda tersebut sehingga para wakil rakyat pun tidak akan begitu saja memuluskan upaya pemkot tersebut. Tak cuma itu, pemkot juga belum menjelaskan dan membuat kajian naskah serta akademis soal regulasi itu. “Waktu rapat Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) lalu, pemkot belum serahkan kajian. Infonya baru akan selesai pada Maret 2020,” katanya. Politisi Gerindra itu menerangkan, sebelum disahkan menjadi payung hukum, tentu harus ada kajian dan naskah akademsi yang jelas soal manfaat dan urgensi kebijakan tersebut. Selain itu juga perlu sosialisasi dan dasar undang-undang yang menerangkan dan mengatur kebijakan alternatif pembiayaan. “Salah satunya Obligasi, kami belum tahu itu berpengaruh pada apa saja? Ya kita tahu kondisi APBD beberapa kali defisit, dan masih ada kebutuhan warga yang belum terakomodasi. Tapi nggak bisa serta merta, harus ada pertimbangan yang matang,” ujar Jenal. Apalagi, dalam kebijakan obligasi, pemerintah dituntut untuk punya dana cadangan dari APBD yang harus dianggarkan setiap tahunnya, untuk membayar bunga. Hal itu menjadi tanda tanya besar urgensi kebijakan itu sebelum disampaikan secara jelas kepada DPRD Kota Bogor dalam pembuatan naskah akademis. (ryn/b/yok)