Meski belum sepenuhnya dibayar pemerintah pusat terkait klaim pembayaran penanganan pasien Covid-19, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor bisa sedikit bernafas lega lantaran pemerintah pusat sudah mencicil tunggakannya. WAKIL Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim, mengungkapkan, selama penanganan Covid-19, RSUD Kota Bogor sudah merogoh kocek senilai Rp6 miliar. RSUD juga telah mengajukan klaim ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selaku assesor, namun belum secara utuh dibayarkan pemerintah pusat. ”BPJS Kesehatan belum bisa mengganti biaya yang telah dikeluarkan RSUD Kota Bogor. Katanya masih dievaluasi BPJS, karena BPJS selaku assesor-nya. Tapi ini masih kita perdalam kenapa belum acc,” kata Dedie. Tunggakan pembayaran oleh pemerintah pusat, sambung Dedie, sangat berpengaruh pada operasional RSUD Kota Bogor. Terlebih, saat ini RSUD telah berstatus sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang pembiayaannya tidak lagi ditanggung Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. ”Dengan besaran uang itu di tengah pandemi Covid-19, RSUD akan kesulitan beroperasi. Oleh karena itu, kita juga memberikan dukungan baik finansial, peralatan, pembiayaan dan pengadaan. Itu kita lakukan. Kita menyadari betul situasi ini sulit,” sambungnya. Meski begitu, Dedie menilai, RSUD bisa mengklaim besaran biaya tersebut. Hanya saja penggantian biayanya masih dalam proses verifikasi oleh BPJS Kesehatan. ”Saya optimis ini masalah teknis. Secara umum semua berkas dan persyaratan sudah dipenuhi RSUD, namun masih dalam verifikasi assesor oleh BPJS. Tapi kita tunggu saja,” katanya. Sementara itu, Wakil Direktur Pelayanan RSUD Kota Bogor, Edi Darma, mengatakan, pihaknya telah mengajukan Rp6 miliar. Namun biaya yang telah lolos verifikasi dari BPJS hanya Rp4,1 miliar. Sedangkan Rp1,9 miliar lainnya masih terganjal permasalahan administratif. Sebab, tanggal masuk dan keluar pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD ada yang tidak sesuai laporan. ”Sisanya yang Rp1,9 miliar masih dalam verifikasi,” bebernya. Menurutnya, pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19, pembiayaannya ditanggung pemerintah. Namun, pihaknya mengaku kebingungan karena hingga saat ini belum ada aturan pasti sebagai acuan dalam penanganan pasien Covid-19. ”Misalnya, kita wajib melakukan PCR, namun belum ada aturannya cukup satu kali atau harus dua kali,” ungkapnya. Bahkan, pihaknya dibikin bingung apabila ada pasien yang klaimnya ditolak, maka itu akan menjadi tanggung jawab siapa. ”Apakah itu ditanggung pemda atau jadi beban RSUD,” katanya. Ia menjelaskan, sejauh ini yang bisa diajukan klaimnya adalah orang yang berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Sementara yang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan tidak dirawat di RSUD tidak bisa mengklaim pembiayaan perawatan dan hanya disarankan isolasi mandiri. Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes), Sri Nowo Retno, menuturkan, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor HK.01.07/MENKES/238/2020 tentang klaim biaya perawatan Covid-19, pemerintah pusat hanya menanggung ODP dengan penyakit bawaan serta berusia 6 tahun ke atas, PDP dan pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Dinkes sendiri, sambung Sri Nowo, hanya menganggarkan Rp100 juta untuk klaim ODP di bawah usia 60 tahun tanpa penyakit bawaan. ”Awalnya, ketika petunjuk teknis (juknis) dan mekanisme soal klaim Covid-19 belum ada, kami menganggarkan Rp3 miliar. Ketika juknis sudah ada pada pekan kedua April, klaim kan jelas. Jadi, pada Mei Dinkes hanya menganggarkan Rp100 juta,” tuturnya. Apabila nantinya klaim yang diajukan tak dibayar pemerintah pusat lantaran tidak lolos verifikasi, maka bakal dibayarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). ”Terpaksa kita bayar menggunakan anggaran kita,” tutupnya. (ogi/b/mam/py)