Komentar tersebut mempertegas masalah utama United: identitas permainan yang kabur.
Meski tetap mengandalkan formasi 3-4-3, kontrol lini tengah tidak terlihat.
Duet Manuel Ugarte dan Fernandes gagal menguasai permainan, sementara Brentford leluasa mengeksploitasi keunggulan jumlah pemain di sektor tengah.
Kesalahan mendasar di lini belakang juga kembali terlihat. Gol pembuka Brentford terjadi akibat kehilangan bola di lini depan, lalu empat sentuhan sederhana cukup untuk membuat Igor Thiago mencetak gol.
Harry Maguire salah mengambil posisi, memberi ruang kosong bagi lawan. Gol kedua pun lahir dari miskomunikasi dan kesalahan elementer.
Baca Juga: 571 Pelajar Berprestasi di Kabupaten Sukabumi Diguyur Beasiswa dari SCG Indonesia
Di lini depan, United tampil tumpul. Bryan Mbeumo, Matheus Cunha, dan Benjamin Sesko gagal tampil efektif.
Meski Sesko mencetak gol perdananya di Premier League, prosesnya berantakan dan lebih disebabkan keberuntungan ketimbang kualitas permainan.
Hingga lebih dari satu jam setelah gol tersebut, United tidak mampu menciptakan ancaman berarti.
Tidak ada alur serangan terstruktur, tidak ada tekanan khas tim besar, dan perubahan strategi dari bangku cadangan pun minim.
Baca Juga: Siapa Adrian Gunadi? Ini Sosok Eks Bos Pinjol yang Jadi Buronan Internasional dan Ditangkap di Qatar
Amorim masih mendapat dukungan klub dan suporter, tetapi tren negatif ini memunculkan tanda tanya besar.
Catatan 34 poin dari 33 laga hampir sama dengan Graham Potter saat menangani West Ham sebelum dipecat.
Jika klub sekelas West Ham menganggap catatan itu tidak memadai, wajar bila publik mulai mempertanyakan: sampai kapan Manchester United akan bertahan dengan Ruben Amorim?