METROPOLITAN - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilihan untuk Rakyat (JPPR), Yusfitriadi, meminta Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) Kabupaten Bogor serius dalam mengawasi dana kampanye yang digunakan para pasangan calon (paslon) nantinya. Langkah ini dilakukan agar tidak terjadi praktik-praktik yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat dalam menghimpun dana kampanye para calon.
Lelaki yang akrab disapa Kang Yus ini menjelaskan, sedikitnya ada enam komponen biaya operasional politik yang harus disediakan tim kampanye pasangan calon. Yaitu konsolidasi dan sosialisasi, helaran kampanye di setiap kecamatan, alat peraga kampanye, kaos pasangan calon, kampanye akbar dan biaya saksi.
Menurut Kang Yus, komponen tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar. Dirinya memprediksi setiap tim membutuhkan sekitar Rp48 miliar untuk memenuhi komponen tersebut. “Asumsi biaya terendahnya begini, konsolidasi dan sosialisasi paslon Rp50 juta/kecamatan, helaran kampanye di setiap kecamatan rp100 juta/kecamatan, alat peraga kampanye Rp800 juta untuk seluruh kecamatan, kaos paslon Rp2 miliar, kampanye akbar Rp1 miliar dan biaya saksi Rp300 ribu dikali 7.635 jumlah TPS. Jumlahnya mencapai Rp48,9 miliar yang harus disiapkan,” kata Kang Yus.
Jika dilihat, jumlah tersebut jauh melampau kekayaan paslon yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, regulasi pilkada memberikan peluang tim kampanye dan paslon menghimpun dana baik dari perorangan maupun lembaga yang berbadan hukum. Sesuai aturan, dana sumbangan untuk perorangan maksimal Rp75 juta perorang dan lembaga maksimal Rp750 juta perlembaga. “Ini yang kemudian harus diawasi serius baik panwas maupun lembaga lain seperti KPK. Karena disinilah potensi besar paslon atau tim kampanye menyiasati dana kampanye dengan praktik-praktik yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat,” terangnya.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpas alasan. Menurut Kang Yus, hasil riset pilkada serentak 2015 mencatat sejumlah praktik curang dalam pengumpulan dana kampanya. Modus menyiasati dana kampanye biasanya dengan tidak melaporkan sepenuhnya dana kampanye dan tidak dicatat dalam rekening dana kampanye. Selanjutnya, ketika perorangan menyumbang dana kampanye lebih dari Rp75 juta maka disiasati dengan memecah melalui banyak rekening siapapun. “Begitupun sumbangan lembaga, ketika mau nyumbang lebih dari Rp750 juta, maka dia pecah ke rekening lembaga yang lain. Ada juga temuan tim audit paslon yang disediakan KPU tidak sesuai dengan standar auditor. Hasil riset pilkada serentak 2015 itu semua terjadi,” beber Kang Yus.
(fin/b/ram)