METROPOLITAN - Ramainya isu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyampaikan bahwa peserta pemilu 2019 boleh mendatangi lembaga pendidikan, rumah ibadah maupun gedung pemerintahan dalam sosialisasi terkait kepemiluan, mendapat tanggapan dari Rektor Universitas Pakuan Bibin Rubini. Ia menegaskan di UU Pemilu sudah jelas bahwa melarang kampanye dalam zona pendidikan, baik sekolahan, kampus ataupun pondok pesantren. Karena itu, hendaknya dibedakan antara transpolitisasi atau pendidikan politik dan politik praktis seperti kampanye agar masyarakat, khususnya mahasiswa, tidak keliru dalam menyikapi atau menanggapi pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo yang menyebut boleh melakukan kampanye di zona pendidikan. ”Kalangan kampus boleh saja mengundang pemateri atau pelaksana pemilu untuk menyampaikan ide dan gagasannya dalam koridor akademik, tetapi bukan politik praktis,” ujarnya. Ia menambahkan, 2019 sebagai tahun politik dapat dijadikan momentum oleh pimpinan perguruan tinggi untuk melakukan pendidikan politik. Misalnya menyampaikan pandangan terhadap persoalan yang dihadapi bangsa atau memberi tata cara yang baik dan benar dalam memilih. Jika diskusi politik boleh-boleh saja, namun ketika menyampaikan visi dan misi pencalonan, berarti kampanye dan hal itu dilarang UU Pemilu. Pasal 280 PKPU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Ayat 1 huruf H, mengatur larangan kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. ”Nah, yang buat UU siapa, lalu penyelenggara pemilu siapa. Kalau misalkan kampanye di zona pendidikan, sama saja dengan melanggar aturan dan UU itu sendiri,” katanya. Perihal Mendagri yang menyebut boleh berkampanye di zona pendidikan, Bibin menyarankan harusnya pemerintah menghormati PKPU dan memberi contoh kepada masyarakat. Lembaga pendidikan itu tempat yang independent, hanya boleh transpolitisasi tapi tidak boleh menerapkannya. “Pendidikan politik itu sudah menjadi komitmen semua zona wilayah pendidikan, tertuang dalam MKK dan BKK 1980 untuk membersihkan politik praktis di zona akademisi,” bebernya. Namun setelah reformasi, Bibin mengakui adanya gerakan berpolitik di kampus seperti di strukturalisasi Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM, ada presiden mahasiswanya dan ada juga Badan Legislatif Mahasiswa (BLM). Tetapi ia menegaskan untuk pembelajaran saja dan tidak boleh membawa kepentingan politik karena ditakutkan terjadi stabilitas kampus. ”Pelaksanaannya pun beda. Kalau pemerintah kan diawasi DPR, kalau di kampus justru sebaliknya, BLM yang diawasi BEM,” ujarnya. Ia menyebut tidak elok jika sekelas menteri mengucap atau membolehkan politisasi zona pendidikan. Sebab, penerapan kampanye itu di luar normalisasi politik dari transpolitisasi dan bicara kampanye adalah peraturan. ”Kalau melanggar ya tugas Bawaslu untuk mengkaji dari apa yang disampaikan Mendagri,” pungkasnya. (ads/b/sal/run)