METROPOLITAN - Calon anggota legislatif (caleg) berhati-hatilah saat kampanye. Sejak masa kampanye ditetapkan pada September 2018, sudah ada tujuh caleg yang terjerat kasus hukum. Mereka harus menerima hukuman penjara gara-gara kampanye yang ngawur. Salah cara. Salah tempat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan jadwal kampanye dimulai pada 23 September 2018 sampai 14 April 2019. Meski sosialisasi sudah digencarkan, sejumlah caleg tetap saja melanggar aturan kampanye yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mereka tetap menggunakan cara klasik, yakni bagi-bagi uang kepada warga yang menjadi target pemilihnya. Misalnya saja kampanye yang dilakukan caleg Partai Nasdem di Cianjur, Ati Awie (AA). Saat berkunjung dan sosialisasi di sekolah madrasah, Desa Nyalindung, Kecamatan Cugenang, pada 27 Oktober 2018, ia membagi-bagikan sembako serta uang saweran sebesar Rp2.000 kepada warga yang hadir. Aksi AA terindikasi melanggar Pasal 523 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Akibatnya ia divonis hukuman kurungan enam bulan oleh Majelis Hakim PN Cianjur. Menurut pengacaranya, O Suhendra, AA tidak melanggar pidana pemilu saat kegiatan sebuah madrasah di Cugenang itu. Pembagian sembako yang dijadikan dasar penjatuhan vonis bukan merupakan pelanggaran pemilu. Apalagi dari keterangan Ketua KPU Cianjur Hilman Wahyudi saat menjadi saksi persidangan, dijelaskan bahwa pembagian sembako tidak diatur secara tegas dan jelas dilarang atau diperbolehkan. Namun Komisioner Bawaslu Cianjur Tatang menganggap putusan hakim telah membuktikan temuan dan pelaporan dari pihaknya terbukti. Menurutnya, kegiatan dilakoni AA termasuk tindak pidana pemilu. ”Apa yang kami temukan di lapangan memang terbukti dan itu dipertegas putusan hakim,” katanya. Adalagi caleg dari Jambi. Namanya Rahmad Derita. Ia mencalonkan diri ke Senayan diusung PPP. Ia menduga Rahmat yang juga mantan kepala Dinas Pendidikan dan Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Jambi itu melanggar Pasal 521 juncto Pasal 280 ayat (1) Huruf h UU Pemilu karena kampanye di sekolah. Selain itu ada dua caleg PAN Mandala Shoji dan Lucky Andriani. Keduanya divonis tiga bulan penjara dan denda Rp5 juta subsider satu bulan kurungan. Ia terbukti melakukan tatap muka dengan warga di Pasar Gembrong Lama Jakarta Pusat pada 19 Oktober 2018 memberikan kupon umrah yang dicetak dan membagikan hadiah umroh kepada peserta kampanye. Selain itu, ada caleg Gerindra Mohammad Arief yang divonis empat bulan penjara. Ia terbukti bersalah akibat memberikan informasi tentang pencalonan dirinya saat menghadiri acara Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) matematika dan seni budaya. Ia juga membagi-bagikan sebuah bingkisan berupa sarung dan stiker kampanye. Caleg keenam, David Rahardja. Ia caleg DPRD DKI dari Partai Perindo. Majelis Hakim PN Jakarta Utara memvonis David Rahardja enam bulan penjara dengan masa percobaan sepuluh bulan. Caleg DPRD DKI Jakarta itu dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pemilu dengan membagikan minyak goreng di Dapil Jakarta II. Ada juga caleg Partai Berkarya Mardalis Tanjung yang divonis sebulan penjara dan denda Rp1 juta oleh Majelis Hakim PN Kotobaru Solok. Ia dipersalahkan menyebarkan selebaran berjudul isu politik yang menyatakan bahwa Ivoni Munir tidak layak lagi menjadi caleg karena sudah beberapa kali jadi caleg tapi tak duduk jua. Begitu juga Mardalis dalam selebaran yang dia tulis menyebutkan bahwa Ivoni tidak didukung material dan moril oleh keluarga dekatnya dan sejumlah isu miring yang menurut Ivoni amat merendahkannya. Menanggapi maraknya kasus caleg yang langgar aturan kampanye, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay meminta partai politik memastikan seluruh calegnya paham betul seluruh aturan pemilu. Ia meminta jangan sampai ada caleg yang telanjur maju namun akhirnya tersandung masalah karena melanggar aturan pemilu. ”Partai politik sebagai induk caleg harus membantu untuk memastikan calegnya paham semua aturan. Saya kira para caleg juga harus mempelajarinya dan harus siap,” kata Hadar. Menurut Hadar, seharusnya para peserta pemilu bisa cermat dan benar-benar memahami aturan main. Apalagi jika aturan tersebut sudah dibentuk menjadi undang-undang. Hadar menilai seharusnya seluruh masyarakat bisa membaca dan mencermatinya. ”Sebagai peserta, tentu dia harusnya tahu dong itu aturan apa. Demikian juga aturan-aturan KPU, dalam hal ini kampanye, pengawasan, penegakan hukum yang dilakukan Bawaslu. Begitu diundangkan, jadi harusnya sudah diketahui,” kata Hadar. (dtk/ lip/kps/tib/els/run)