METROPOLITAN - Gerakan para calon anggota legislatif (caleg) maupun tim sukses (timses) peserta pemilu 2019 semakin masif untuk mendulang suara di Kabupaten Bogor. Praktik politik uang pun sudah mulai tercium dan menjadi perhatian pengawas indenpenden.
Pengamat pemilu dari Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Yusfitriadi mengatakan, berdasarkan hasil pengamatan, beberapa kasus dugaan politik uang sudah masuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bogor. Bahkan, ada kasus yang sudah masuk tahapan persidangan. “Saya amati sih sudah mulai politik uang. Kita bisa lihat beberapa kasus sudah masuk di Bawaslu, bahkan sudah sampai pada tahap persidangan seperti dugaan pelanggaran money politic oleh caleg Partai Demokrat. Sebelumnya ada juga kasus caleg PAN Primus Yustisio,” kata lelaki yang akrab disapa Kang Yus.
Terlebih, konteks politik uang tak sebatas hanya memberikan uang. Namun, menjanjikan materi-materi lainnya juga masuk politik uang dan kondisi ini menjadi kerawanan jelang pemilihan berlangsung. Menurut Kang Yus, politik uang memang akan lebih terlihat pada masa-masa kampanye terbuka yaitu pada 21 hari jelang masa tenang. Di masa ini, dirinya menilai berbagai potensi pelanggaran akan berkembang, termasuk politik uang. “Ada juga efek pencegahannya karena Bawaslu di semua tingkatan banyak menangani dugaan pelanggaran politik uang. Bahkan ada yang sampai vonis dua tahun penjara dan dicoret dari DCT seperti terjadi di Jakarta. Maka para kontestan akan sangat hati-hati untuk melakukan politik uang tersebut,” terangnya.
Larangan politik uang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun Bawaslu RI menilai UU ini kurang efektif mencegah praktik politik uang. Bahkan, menurutnya, peraturan mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 lebih efektif mencegah praktik tersebut. ”Kalau kita bandingkan regulasi soal money politic antara UU Pemilu dan UU Pilkada, lebih progresif UU 10 Tahun 2016 tentang pilkada itu,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam UU Pilkada, baik pemberi dan penerima bisa dijerat hukum pidana, jika terbukti melakukan praktik politik uang. Sementara pada UU Pemilu, hanya pemberi yang bisa dijerat. Selain itu, dalam UU Pilkada disebutkan semua orang dapat menjadi subjek pelaku dan dapat dihukum.
Sementara dalam UU Pemilu, penyematan status pelaku dibagi dalam tiga fase. Pada masa kampanye dan masa tenang, hanya tim dan pelaksana kampanye yang dapat dijerat. Lalu semua pihak yang terbukti melakukan politik uang baru dapat dijerat saat masa pemungutan suara. Abhan juga menyinggung soal mahar politik. Terkait pelanggaran tersebut, ia menyebutkan tidak ada sanksi pidana yang jelas. Di sisi lain, Bawaslu perlu kekuatan hukum tetap untuk menjerat pelaku mahar politik dengan sanksi administrasi. ”Bawaslu tidak bisa mengatakan kemungkinan jadi administratif, karena administratif itu bisa dikenakan setelah putusan pidana punya kewenangan hukum tetap,” terangnya. (fin/c/els/run)