METROPOLITAN - Jelang tahun politik 2024, bergulir isu untuk memberlakukan kembali sistem pemilu proporsional tertutup atau memilih partai politik. Isu ini mendapat banyak tantangan dari pihak lain yang menilai proporsional terbuka atau memilih caleg lebih baik. “Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi, pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN), Oce Madril, kepada wartawan, Kamis (5/1). Oce mengingatkan ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut. Misalnya, sistem proporsional terbuka dengan nyoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak. Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics). Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR mencapai angka Rp4 miliar, bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp20 miliar. Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut satu kursi. Oce menambahkan, biaya tinggi yang harus dikeluarkan caleg tersebut untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya. Para caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain, bahkan akan gontok-gontokan dengan caleg dalam satu partai. Selain itu, berbiaya tinggi juga memicu konflik. “Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” imbuh pegiat antikorupsi itu. Menurut Oce, pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara. Rumusnya sederhana, karena modal yang harus dikeluarkan caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan KORUPSI untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya. “Sementara sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik. Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup kembali diterapkan, maka partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader berkualitas tidak hanya berdasarkan popularitas semata,” bebernya. Diketahui, delapan fraksi di DPR RI kompak menyatakan sikap ingin tetap sistem pemilu proporsional terbuka pada Pemilu 2024. Mereka mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) tetap konsisten terkait sistem pemilu proporsional tertutup. (jp/feb/py)