Senin, 27 Maret 2023

Pakar: Biaya Politik Mahal Bisa Picu Korupsi

- Jumat, 6 Januari 2023 | 12:01 WIB
ILUSTRASI: Setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak. Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi.
ILUSTRASI: Setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak. Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi.

METROPOLITAN - Jelang tahun politik 2024, bergulir isu untuk memberlakukan kembali sistem pemilu pro­porsional tertutup atau me­milih partai politik. Isu ini mendapat banyak tantangan dari pihak lain yang menilai proporsional terbuka atau memilih caleg lebih baik. “Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem pemilu apa yang harus dite­rapkan. Jadi, pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup meru­pakan kebijakan hukum ter­buka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indo­nesia,” ujar Direktur Ekseku­tif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN), Oce Madril, kepada wartawan, Kamis (5/1). Oce mengingatkan ada im­plikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut. Mis­alnya, sistem proporsional terbuka dengan nyoblos ca­leg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengelu­arkan biaya banyak. Hal ini menyebabkan politik berbi­aya sangat tinggi (high cost politics). Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR mencapai angka Rp4 miliar, bahkan ada yang mengha­biskan sampai Rp20 miliar. Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut satu kursi. Oce menambahkan, biaya tinggi yang harus dikeluarkan caleg tersebut untuk membi­ayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya. Para caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain, bahkan akan gontok-gontokan dengan caleg dalam satu par­tai. Selain itu, berbiaya tinggi juga memicu konflik. “Oleh karena orientasinya adalah meraih suara seba­nyak-banyaknya, maka ber­bagai intrik dilakukan ter­masuk melakukan praktik politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa po­litik uang di Indonesia sang­atlah tinggi,” imbuh pegiat antikorupsi itu. Menurut Oce, pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat ko­rupsi di sebuah negara. Ru­musnya sederhana, karena modal yang harus dikeluarkan caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan mela­kukan KORUPSI untuk mengem­balikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya. “Sementara sistem propor­sional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik. Oleh karena itu, apa­bila nanti Mahkamah Kon­stitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup kembali diterapkan, maka partai harus membe­rikan jaminan bahwa rekrut­men caleg dilakukan berda­sarkan merit system dengan mengajukan kader berkua­litas tidak hanya berdasarkan popularitas semata,” bebernya. Diketahui, delapan fraksi di DPR RI kompak menyatakan sikap ingin tetap sistem pe­milu proporsional terbuka pada Pemilu 2024. Mereka mendesak Mahkamah Kon­stitusi (MK) tetap konsisten terkait sistem pemilu propor­sional tertutup. (jp/feb/py)

Editor: admin metro

Tags

Terkini

X