berita-hari-ini

OPINI: Rakyat Lapar di Tengah Kabinet Tambun, Refleksi Ekonomi Politik Indonesia

Minggu, 31 Agustus 2025 | 17:41 WIB
Dwi Kristianto, Dosen Universitas Indonesia

Dwi Kristianto
‎Dosen dan Peneliti Universitas Indonesia

UNGKAPAN “rakyat lapar” bukan sekadar metafora. Ia mencerminkan keresahan sosial yang timbul dari lesunya roda ekonomi nasional. Sejak awal tahun, program Makan Bersama Gratis (MBG) yang dikampanyekan sebagai solusi populis justru menyedot anggaran negara dalam jumlah besar. Ironisnya, alokasi jumbo tersebut belum mampu memberikan dampak nyata bagi masyarakat bawah.

‎Akibatnya, hingga pertengahan tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak berputar secara optimal. Siklus belanja pemerintah yang seharusnya mendorong konsumsi, investasi, dan peredaran uang di masyarakat justru terhambat. Hal ini memicu pelemahan makroekonomi ditandai dengan turunnya daya beli, lambatnya perputaran usaha kecil, dan semakin sempitnya peluang kerja.

‎Sementara rakyat bergelut dengan kesulitan ekonomi, elit politik sibuk mengamankan kursi kekuasaan. Power sharing dilakukan melalui pembentukan kabinet tambun, dengan banyak pos kementerian yang ditempati figur tanpa pengalaman teknis memadai.

‎Fenomena ini memperkuat kesan bahwa politik bagi-bagi jabatan lebih diutamakan daripada kompetensi. Konsekuensinya, banyak program strategis berjalan tersendat, penuh inefisiensi, dan tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat.

‎Di sisi lain, instrumen pajak terus digencarkan. Sayangnya, beban pajak justru menekan kelas menengah kelompok yang mestinya menjadi motor penggerak ekonomi. Kelas menengah yang produktif kini harus mengurangi konsumsi dan investasi akibat tekanan pajak. Alhasil, perputaran makroekonomi semakin stagnan.

‎Jika tren ini berlanjut, dikhawatirkan akan muncul middle class squeeze, yaitu kondisi ketika kelompok menengah kehilangan daya beli sekaligus ruang untuk berkembang. Padahal, sejarah menunjukkan kelas menengahlah yang menjadi pilar stabilitas politik dan ekonomi nasional.

‎Selama ini, ruang publik lebih banyak diisi oleh isu-isu remeh-temeh. Misalnya, polemik penelitian atau kontroversi tokoh publik tertentu yang terus diputar di televisi nasional. Media arus utama sering kali menjadi echo chamber yang memperkuat distraksi, sehingga perhatian publik teralihkan dari masalah struktural yang jauh lebih genting.

‎Presiden dan pemerintah semestinya menyadari bahwa situasi ini berbahaya. Ketika rakyat lapar, kelas menengah tertekan, dan elit politik sibuk berebut kuasa, ruang kosong yang ditinggalkan negara bisa dengan mudah diisi oleh “bohir” pemilik modal yang punya kepentingan memicu kekacauan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

‎Indonesia membutuhkan arah yang jelas. Pertama, belanja APBN harus difokuskan pada program produktif yang menggerakkan ekonomi riil, bukan sekadar proyek simbolik populis. Kedua, reformasi kabinet mutlak dilakukan: posisi strategis harus diisi oleh orang yang memiliki kompetensi, bukan sekadar bagian dari koalisi politik. Ketiga, sistem perpajakan harus diatur lebih adil kelas menengah jangan dibebani berlebihan, sementara penghindaran pajak oleh korporasi besar harus ditindak tegas.

‎Terakhir, pemerintah harus menyadari bahwa stabilitas politik tidak bisa dibangun di atas propaganda dan distraksi media semata. Stabilitas hanya akan bertahan jika rakyat merasakan keadilan ekonomi dan hadirnya negara dalam kehidupan sehari-hari.

‎Kata rakyat hari ini memang sederhana: lapar. Tetapi di balik kata itu, ada alarm keras yang menandakan krisis kepercayaan sekaligus krisis kebijakan. Bila pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, arah perjalanan bangsa akan kian kabur dan rakyat yang lapar bisa menjadi kekuatan politik yang tak terduga. (*)

Tags

Terkini