METROPOLITAN-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyebut pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 baru menjadi masalah setelah Buni Yani mengunggah potongan video di akun media sosial. Buni Yani menurut Ahok menambahkan kalimat provokatif saat memposting video. "Baru menjadi masalah 9 hari kemudian tepatnya tanggal 6 Oktober 2016, setelah Buni Yani memposting video saya menambah kalimat yang sangat provokatif. Baru lah terjadi pelaporan dari orang-orang yang mengaku merasa terhina padahal mereka tidak pernah mendengar langsung tidak pernah menonton video, pidato sambutan saya secara utuh," ujar Ahok membacakan nota pembelaan (pleidoi) di auditorium Kementan, Jl RM Harsono, Ragunan, Jaksel. Ahok menyebut serangan terhadapnya gencar dilakukan dengan terus menyebut dirinya melakukan penistaan agama saat menyebut surat Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu. Tuduhan yang menurut Ahok disampaikan berulang-ulang ini membuat banyak orang menjadi percaya dirinya melakukan penodaan agama meski tidak pernah menyaksikan utuh video pidatonya saat itu. "Tuduhan itu tiap hari diulang-ulang, dusta yang terus-menerus diulang akan menjadi kebenaran. Kita mendengarnya di masjid-masjid, di media sosial, di percakapan sehari-hari. Sangkaan itu menjadi bukan sangkaan tapi sudah kepastian, Ahok pun harus diusut oleh pengadilan dengan UU penistaan agama yang diproduksi rezim orde baru. Sebuah UU yang batasan pelanggarannya belum jelas, tak jelas pula siapa yang sah mewakili agama yang dinista itu," tutur Ahok. Dengan perkara ini, Ahok merasa diperlakukan tidak adil. Dia dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan. "(Ada yang) mengakui adanya ketidakadilan dalam kasus ini tapi bertepuk tangan untuk kekalahan politik Ahok yang tidak bisa diubah sebuah ketidakjujuran," tegas Ahok. Ahok dalam tuntutan jaksa dikenai Pasal 156 KUHP mengenai pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Sumber: detik.com