berita-hari-ini

Kakak Beradik Meraih Dua Emas Computer Science di Jerman

Jumat, 28 April 2017 | 07:00 WIB

METROPOLITAN - Fira Fatmasiefa tak terhenti mengumbar senyuman manis saat berhadapan dengan sejumlah jurnalis di Ruangan Perpustakaan Chandra Kusuma School (CKS) Jalan Cemara, Deliserdang, Sumatera Utara. Bersama adiknya, Brasmasto Rahman Prasojo yang masih SMP Kelas IX, siswi Kelas XI ini tampak begitu bersemangat begitu bercerita tentang pengalaman selama di Jerman.Ya, Fira-sapaan akrabnya, juga Pras-adiknya, baru saja mencatatkan prestasi gemilang dengan merebut dua medali emas di Ajang International Conference of Youth Sceintist (ICYS) 2017 di Stuttgard, Jerman 16-23 April. Mereka pulang ke Tanah Air dengan kepala tegak setelah mengalahkan semua perwakilan dari berbagai negara di dunia dengan penemuan alat untuk membantu tunanetra agar bisa belajar dengan lebih cepat dan mandiri dari sistem konvensional yang selama ini ada.Dua medali emas di bidang computer science itu dengan riset berjudul Braille earning Algorithm dengan alat diberi nama Braille Literacy Helper. Dimana, tunanetra khususnya yang mengalami kebutaan tidak dari lahir bisa belajar dengan baik. Alat ini membuat empat siklus dalam proses pembelajaran, alat yang dilengkapi empat tombol untuk pengenalan dan hapalan alfabet. Kemudian alat ini akan membimbing siswa untuk mengulangi huruf alfabet mana yang belum hapal hingga bisa benar-benar hapal bahkan bisa bekerja tanpa guru. Fira menjelaskan perjalanan rombongan sekolah menuju Jerman cukup melelahkan, namun menyenangkan. “Dari Jakarta kami transit ke Istanbul dengan perjalanan 12 jam langsung Stuttgard. Tidur enggak nyenyak di pesawat. Begitu sampai kami disambut lalu naik kereta api ke hostel. Lalu kami di sana langsung diberikan science quiz pada malam pertama,” ujar Fira. Cewek kelahiran 9 Juni 2000 ini mengatakan, di sana mereka langsung dapat teman pertama dari Thailand, Belarusia, Republik Ceko dan Belanda. Mereka sempat terkejut saat bertemu pesaing dari negara lain yang badannya tinggi seperti anak kuliahan. “Paling mengintimidasi itu dari Rusia dan Jerman, bodinya besar-besar kayak orang kuliah, tinggi. Laki-laki semua. Tapi setelah kenalan, ternyata enggak sedingin yang kami bayangkan, sungguh bersahabat,” jelasnya. Di lokasi acara, Fira menambahkan ada momen berbagi budaya. Indonesiapun menjadi perhatian, saat Fira yang juga pintar menari menampilkan tari balet, tari melayu dengan iringan lagu Merah Putih milik Band Cokelat. “Kami mendapat apresiasi karena ini pertunjukkan paling meriah dalam sejarah kompetisi,” kenang Fira. Saat presentase ke juri, Fira dan Pras mengajak para juri menjadi sukarelawan untuk berakting seperti tunanetra agar bisa mempraktekkan alatnya. “Yang buat kami unggul, karena ada aspek sosial, apalagi di bidang computer science yang berdampak bagi orang banyak, khususnya tunanetra. Juri bilang belum ada alat seperti ini yang membantu tunanetra belajar brailler dengan mandiri,” jelasnya. Saat malam penghargaan, Fira dan Pras semakin tak menentu perasaannya. Mereka menjadi peserta yang diumumkan terakhir, yang berarti peserta dengan skor paling tinggi. “Saya nangis, saya enggak tahan. Teman-teman bilang, Fira maskaranya luntur, saya benar-benar bahagia,” ucapnya sambil tertawa. Fira memang pantas bahagia. Bagaimana tidak, ini keikutsertaannya kali keempat. Untuk bisa ikut ke ajang bergengsi ini, Fira dan adiknya harus menyisihkan peserta lain tingkat daerah di LPBSU Sumut 8 Oktober 2016, lalu mereka meraih emas juga di tingkat nasional, hingga diputuskan juri nasional menjadi wakil Indonesia. “Saya sudah ikut sejak 2013, perjuangan sudah empat tahun, sampai juri-juri (daerah) sudah hapal sama saya. Jadi saya benar-benar bahagia, bisa sampai di titik saya sekaraang, karena perjalanan yang cukup panjang,” ungkapnya. Ibunda Fira dan Pras tak henti melihat ke arah putrinya saat bercerita. Dyah Purworini memang sangat pantas terhadap prestasi anaknya. Apalagi ide penemuan ini berasal dari misi sosial yang sangat mulia. Dyah mengurai suatu hari di Agustus 2016, usai mengunjungi sekolah luar biasa (SLB) Yapentra di Tanjungmorawa, Deliserdang, Fira dan Pras sambil bercucuran air mata cerita ke Dyah ingin membuat satu alat bantu untuk tunanetra. Saat kunjungan sekolahnya ke SLB itu Fira melihat banyak anak-anak yang mengalami kebutaan bukan dari kecil, melainkan akibat kecelakaan. Mereka ingin belajar membaca dan menulis tapi kesulitan dengan sistem braille yang ada. “Begitu masuk mobil pulang sama saya, Fira bilang ‘ibu tadi kami baksos (bakti sosial) ke SLB Yapentra, Fira cerita di mobil dengan mata berkaca-kaca, sementara Pras enggak ada nimbrung di obrolan tapi saya lihat matanya juga berair,” kisah Dyah. Dengan suara yang parau karena menangis, Fira mengungkapkan ke ibunya. “Ibu aku mau bantu mereka,” ujar Dyah menirukan ucapan anaknya kala itu. Fira dan Pras mengajak ibunya kembali ke SLB tersebut, dan berkenalan dengan teman-teman tunanetra, bertemu guru-guru yang mengajar masih cara konvensional selama ini. Peserta didik di sana, ada yang berusia 13 tahun ingin belajar menulis dan membaca seperti sedia kala, sebelum dirinya mengalami kebutaan karena kecelakaan. “Aku dulu tahu ini buku, dan aku tahu membaca, aku pernah sekolah, tapi sekarang tidak bisa lagi, saya benci betil-betil di kertas brailler dan harus belajar bertahun-tahun tapi sulit. Begitu curhatan salah seorang anak, yang membuat anak saya tergugah untuk membuat alat yang bisa membantu mereka,” beber warga Jalan Sekata, Komplek River View Regency Blok 4/5, Karang Berombak, Glugur, Medan. Dyah yang juga dokter dan pengajar di CKS bidang internasional, biologi dan food nutrition ini mendukung penuh niat kedua anaknya. “Sebagai orang tua kami mencermati dan mensupport apa yang anak-anak kami lakukan,” tegasnya. Dari momen itulah, sejak Agustus 2016 hingga Oktober 2016 mereka melakukan penelitian. Dalam prosesnya, sebagai orang tua, Dyah memenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk membuat alat tersebut, jika tidak ada tersedia di sekolah. “Jadi produk ini memakasi semacam modul IT, jadi kalau ditotal kira-kira satu alat ini menghabiskan biaya Rp300 ribu,” ungkapnya. “Saya sebagai orang tua sangat bersyukur sekolah dan guru-guru di sini mendukung penuh. Saya sangat terharu melihat bagaimana proses penemuan ini,” jelas Dyah. Bahkan, kini satu alat penemuan ini telah ditinggalkan di SLB Yapentra satu untuk bisa dipraktekkan segera kepada anak didik di sana. Pihak sekolah memang rencana mematenkan alat ini akan bisa diproduksi lebih banyak dan bisa dinikmati lebih banyak tunanetra lainnya. Rita, Kepala CKS SMA/SMP mengatakan proses tersebut sedang berjalan. “Karena penelitian menghabiskan banyak waktu, jadi kami tidak mau sia-sia. Kami sedang proses mematenkan alat ini agar bisa diproduksi lebih banyak untuk tunanetra,” ungkapnya. Guru Pembimbing Fira dan Pras selama pembuatan alat ini, Sungguh Ponten Pranata Aritonang menambahkan sangat bersyukur Fira dan Pras berasal dari keluarga yang mendukung penuh kemauan anaknya dalam penelitian ini. “Alat ini tercipta karena juga bantuan banyak pihak lainnya, seperti guru-guru lainnya, pakar. Meski di awal saat mereka cerita ke saya, saya bingung. Dasar saya matematika, minor saya computer science. Ketika harus berhubungan dengan aspek sosial, kami harus memahami apa yang dirasakan orang buta, sangat sulit. Karena orang buta dari lahir tingkat sensitivitasnya tinggi, beda dengan orang buta yang karena kecelakaan, agak sulit menerjemahkan apa yang mereka rasakan ke computer science,” jelasnya.Saat proses penelitian, Sungguh juga memiliki kesulitan mengumpulkan Fira dan Pras yang juda punya jadwal segudang. “Nanti Prasnya bisa, Fira tidak. Karena dia banyak kegiatan lain yang juga berprestasi. Tapi akhirnya bisa juga selesai berkat bantuan banyak pihak,” ungkapnya. Sumber : pojoksatu

Tags

Terkini