TAK terasa, sudah sepekan lebih kita menjalani ibadah puasa. Tentu kita tidak ingin Ramadan sekarang lewat begitu saja. Ramadan yang dikenal sebagai bulan puasa menjadi momentum bagi kita untuk men-charge kualitas iman dan takwa. Sebelas bulan sebelumnya mungkin kesabaran, kedermawanan dan keaktifan kita dalam beribadah melemah. Maka dengan kehadiran bulan puasa, jiwa kita harus menemukan jati dirinya yang lebih dekat lagi kepada Dzat Pencipta, Allah SWT.
Jiwa yang kotor akan mengeluarkan perkataan dan perbuatan yang kotor. Ia akan mengumpat, mencela, memfitnah, menzalimi, mencaci maki dan melakukan sifat-sifat buruk lainnya. Sementara jiwa yang bersih akan memfilter semua ucapan dan perilaku yang mengarah pada dosa dan kerendahan jiwa. Selanjutnya, ia akan menetralisasi dan menggantinya dengan perbuatan yang baik dan mulia.
Imam Ibn al-Arabi yang dikutip oleh Imam Ibn Hajar al- Asqalani dalam Kitabnya Fath al-Bari mengatakan, puasa merupakan benteng (penghalang) dari neraka, sebab puasa (yang sesungguhnya) dapat menahan diri dari segala macam syahwat (keinginan jiwa untuk berbuat dosa) yang dapat menjerumuskan manusia ke neraka. Artinya, ketika seseorang sewaktu di dunia dapat menjaga dirinya dari syahwat tersebut, yaitu melalui puasa, maka di akhirat nanti ia akan terhalang dari neraka. Karenanya dalam Hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perilaku dusta (dosa), maka Allah tidak membutuhkan upayanya dalam meninggalkan makan dan minumnya (berpuasa).”
Namun sayangnya, masih banyak di antara umat Islam yang memaknai bulan Ramadan ini hanya sebatas Ramadan. Padahal ia adalah salah satu bulan yang sarat dengan kurikulum ilahiyah. Tentunya semangat takwa yang diusung dalam ibadah puasa ini berfungsi untuk menjadi pembiasaan. Sebab, keberhasilan sebuah pendidikan dapat dilihat dari hasilnya. Puasa mendidik jiwa kita untuk disiplin, tegas, sabar, empati, jujur, bertanggung jawab dan sikap-sikap mulia lainnya. Salah satu indikator keberhasilan puasa kita jika nilai-nilai tersebut dapat dipraktikkan, tidak hanya di bulan puasa, namun sampai sebelas bulan kemudian.
Menurut Alm. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub rahimahullah dalam bukunya Teror di Tanah Suci (2016), banyak umat Islam yang belum memahami makna bulan Ramadan yang sesungguhnya. Sehingga ucapan dan perbuatan mereka malah mencederai bulan suci ini. Contohnya, banyak kaum muslimin yang lebih mengutamakan salat tarawih yang pahalanya sunnah, sementara kewajiban untuk salat fardu lima waktu diabaikan. Begitu pula fenomena konsumerisme selama bulan puasa. Hal ini ditandai dengan membengkaknya belanja dapur dan kebutuhan lainnya selama Ramadan. Bahkan, seorang sosiolog dari Universitas Oxford Inggris, Walter Armbrust, meneliti fenomena Ramadan pada 2004, menyimpulkan bahwa Ramadan adalah the most important business period, periode bisnis paling penting dalam 1 tahun. Padahal seharusnya banyak bersedekah bukan berbelanja untuk kepuasan nafsu belaka.
Semoga jiwa kita siap untuk ditata ulang di bulan puasa ini agar menjadi lebih baik lagi. Peningkatan iman dan
takwa jangan sampai berhenti di bulan ini, namun terus berupaya untuk istiqamah di bulan-bulan selanjutnya. Wallahu a’lam.
(*)