METROPOLITAN – Sebanyak 17 anak bawah umur selama setahun mendapat perlakuan tidak manusiawi dari pengelola Panti Asuhan (PA) Pelita Hidup yang beralamat di Kelurahan Oebobo.
Saat ini anak-anak yang berasal dari Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) dan Kabupaten Kupang ini ditampung sementara di Rumah Penampungan Trauma Center (RPTC) milik Dinas Sosial Provinsi NTT di Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang.
Ke-17 anak ini berasal dari keluarga tak mampu. Dari jumlah itu, 10 di antaranya berasal dari Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. Sedangkan tujuh lainnya berasal dari Kabupaten Kupang, tepatnya Oemofa, Kecamatan Amabi Oefeto Timur.
Rata-rata mereka berusia delapan sampai 16 tahun. Tiga anak di antaranya adalah perempuan. Berdasarkan pengakuan salah seorang anak berinisial A, anak-anak dari Kabupaten Kupang sudah setahun tinggal di panti asuhan tersebut. Sementara yang berasal dari SBD baru enam bulan.
Selama berada di panti yang dikelola Sony Patola tersebut, mereka nyaris disiksa setiap hari. Karena tak tahan dengan siksaan, ia nekat melarikan diri dengan meloncat dari pagar. Bocah perempuan ini mengaku walaupun sudah malam, sekira pukul 21.00, ia memilih kabur lantaran ketakutan. Bahkan, menurutnya, sebelumnya sudah dua kali ia berusaha kabur, namun gagal.
Berhasil melewati pagar setinggi dua meter itu, ia pun ditolong warga sekitar. Setelah mendengar ceritanya, warga pun membawa A ke Polres Kupang Kota untuk melapor.
Ia mengaku selama tinggal di panti tersebut mereka dipekerjakan seperti buruh bangunan, baik laki-laki maupun perempuan. Anak-anak perempuan bertugas untuk membuat campuran semen. Sedangkan laki-laki bertugas mengangkat semen.
“Kalau terlambat kerja kami kena pukul. Kami ditampar. Kami tidak bisa kerja tugas sekolah karena kerja terus. Malam juga kerja,” cerita A di gedung RPTC, Senin (19/6).
Korban lainnya berinisial YB menceritakan ia masuk ke panti tersebut karena ada tawaran sekolah gratis oleh pemilik panti, Sony Patola. Ia direkrut saat masih di SBD. Orangtuanya melepas dirinya datang ke Kupang karena iming-iming sekolah gratis. “Sampai di sini kami kerja angkat campuran seperti tukang bangunan,” kata YB.
YB menambahkan, ia pernah dipukul dan ditampar dengan sandal karena terlambat bekerja. Apalagi saat libur sekolah, mereka bekerja sampai jam 11 malam. “Tidak ada waktu istirahat. Salah sedikit langsung kena pukul. Dia (Pengelola, Red) punya anak juga pukul kami,” kata YB.
Ia juga mengatakan kerap dikasih nasi yang sudah basi. Bahkan, jika tidak ikut kerja, maka hanya dijatah makan dua kali sehari.
Korban lainnya, yang tak mau menyebutkan namanya, juga mengaku selalu mendapat perlakuan kasar dari pemilik panti tersebut. Mereka dipaksa bekerja membangun gedung panti. Sudah selama setahun mereka bekerja seperti buruh bangunan. “Janji kasi sekolah gratis. Kasih laptop juga,” katanya.
Kepala Dinas Sosial Kota Kupang, Felisberto Amaral kepada Timor Express mengatakan anak-anak tersebut diamankan oleh Polres Kupang Kota Selasa (13/6) lalu. Selanjutnya, dirinya membawa anak-anak tersebut untuk ditampung di gedung RPTC menunggu proses pemulangan ke daerah masing-masing. Selama berada di RPTC, Dinas Sosial Kota Kupang menanggung logistik.
“Kami telah berkoordinasi dengan provinsi melalui surat dengan tembusan ke Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya dan Pemerintah Kabupaten Kupang,” kata Amaral yang menyebutkan pengelola panti, Sony Patola telah ditahan polisi.