berita-hari-ini

Polemik LGBT

Selasa, 26 Desember 2017 | 12:02 WIB

-

LESBIAN, Gay, Bisek­sual dan Transgender (LGBT) belakangan kembali menjadi per­bincangan ilmiah di Indonesia. Perbin­cangan menjadi demikian hangat, lebih khusus setelah Mahkamah Konstitusi dianggap melegalkan perzinahan dan hubungan sesama jenis. Tak luput, ILC yang diawaki TV-One, dengan “Presiden” ILC, Karni Ilyas, membawa dan menganalisa soal ini, dalam slot khusus dengan du­rasi waktu yang sangat panjang.­

Pada 14 Desember 2017, melalui putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi bulan-bulanan di media sosial. Se­rangan tidak sebatas pada institusi, tapi juga pada diri individu para hakimnya. Me­reka dinilai pro terhadap per­zinaan dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).

Pemohon dalam putusan tersebut ingin MK melakukan kebijakan pidana (criminal policy) dalam pengertian me­rumuskan perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan yang dapat dipi­dana, menjadi pidana. Seti­daknya ada tiga hal yang di­minta. Pertama, zina, sebagai­mana diatur dalam Pasal 284 KUHP, akan mencakup seluruh perbuatan persetubuhan an­tara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.

Kedua, pemerkosaan, seba­gaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP, akan menjadi men­cakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilaku­kan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki.

Ketiga, perbuatan cabul, se­bagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP, akan mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur.

Dalam putusannya, MK secara tegas menyatakan bahwa seluruh pertimbangan yang telah disam­paikan dalam putusan tersebut, namun bukan berarti MK meno­lak gagasan ”pembaruan” para pemohon sebagaimana tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti MK berpenda­pat bahwa norma hukum pi­dana yang ada dalam KUHP, khususnya yang dimohonkan pengujian oleh pemohon, sudah lengkap.

Menurut MK, perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk UU melalui kebijakan pidana yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan oleh pemohon seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk UU dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru.

Inilah poin penting yang ha­rus menjadi mula dari diskusi ini. Bahwa MK tidak mau ma­suk pada wilayah pembuat UU. Bahwa membuat aturan hukum yang sifatnya memidanakan adalah ranahnya pembentuk UU. Ini adalah soal pilihan. MK sudah berkomitmen hal demikian adalah ranahnya lembaga pembentuk UU.

Putusan tersebut sejatinya konsisten dengan beberapa putusan sebelumnya. Seperti, misalnya, putusan Nomor 132/PUU-XIII/2015 tentang pen­gujian Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP, yang mana MK ber­pendapat bahwa merumuskan tindak pidana baru yang se­mula perbuatan itu bukan perbuatan pidana, maka harus mendapat persetujuan rakyat, yang dalam hal ini direpresen­tasikan oleh pembentuk UU (DPR dan Presiden), adalah kewenangan pembentuk UU.

Berbeda halnya jika menia­dakan suatu pidana. Dalam beberapa kali kesempatan, MK meniadakan unsur pidana da­lam UU. Misalnya, dalam putu­san 95/PUU-XII/2014 yang mana MK meniadakan unsur pidana terhadap orang-orang yang sudah turun temurun hidup di sekitar kawasan hutan untuk mengambil kayu dan meng­gembalakan ternaknya. Mereka tidak boleh dipidana. Sebelum­nya, berdasarkan Pasal 50 ayat 3 huruf e UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hu­tan, mereka bisa dikenakan sanksi pidana.

Sekarang kita berandai-andai. Misalnya, makna zina tersebut dimaknai seperti yang dimin­takan oleh pemohon, lalu apakah persoalan akan selesai di situ? Menurut saya tidak. Justru hal demikian akan ber­potensi mengkriminalisasi banyak pasangan yang perka­winannya belum dianggap sah oleh negara. Sebagai contoh, terhadap para pasangan dari kelompok penghayat keper­cayaan yang sampai saat ini masih banyak perkawinannya yang belum diakui sebagai perkawinan yang sah.

Begitu juga dalam hal perka­winan siri, atau poligami, yang belum dicatatkan secara resmi. Menurut agama dan keyakinan­nya, pernikahan ini sah di hada­pan Tuhan. Tapi, karena tidak atau belum dicatatkan, pasangan ini melanggar UU Pernikahan dan KUHP. Karena itu apabila MK mengabulkan permohonan pemohon, maka di mata ne­gara, pasangan ini juga dianggap telah melakukan perzinahan dan harus dilakukan pemida­naan. (bersambung)

Tags

Terkini