berita-hari-ini

Target Pendidikan Bukan Kejar Tayang

Sabtu, 20 Juli 2019 | 10:56 WIB

METROPOLITAN - Bagi para ibu dan ayah, memilih sekolah adalah pekerjaan yang memusingkan. Orang tua pasti punya pertimbangan yang lebih kompleks bila anak terlahir spesial. ’’Perhatikan kemampuan dan kondisi anak. Sebab, mereka perlu program khusus untuk mendukung belajarnya,’’ tegas psikolog Asteria R. Saroinsong SPsi. Orang tua, lanjut dia, perlu berkonsultasi dulu dengan psikolog, terapis, maupun pakar pendidikan. ’’Misalnya, autisme. Karena merupakan spektrum yang luas, kondisi anak dengan autis satu dengan lainnya tidak sama,’’ jelas wakil ketua Yayasan Advokasi Sadar Autisme (ASA) tersebut. Lewat konsultasi, orang tua bisa mengetahui gambaran kemampuan anak dalam komunikasi, interaksi, hingga fokus.

Peninjauan langsung ke sekolah tujuan juga diperlukan. Sekolah pun lebih siap menentukan program yang tepat bagi anak. Dia menegaskan, orang tua harus terbuka. Kondisi anak mulai hal yang disukai, kemampuan anak duduk diam dan menyimak, hingga cara meredakan tantrum anak perlu dijabarkan. ’’Sekolah biasanya akan punya pertimbangan, apakah si anak perlu shadow? Bisa nggak ikut pelajaran nanti?’’ papar Asteria. Di sisi lain, founder bimbingan belajar khusus anak House of Learning Sisca Elim Rosario menuturkan bahwa ABK (anak berkebutuhan khusus) disarankan mengikuti terapi sebelum mulai bersekolah. ’’Dalam kondisi tertentu, ABK punya IQ memadai.

Mampu untuk belajar, tapi ’sistem’ otaknya berbeda sehingga perlu latihan,’’ ungkapnya. Alumnus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) itu memaparkan bahwa terapi yang diberikan beragam. Mulai melatih anak mengikuti instruksi sederhana, mengontrol diri ketika mood berubah, hingga berinteraksi. ’’Makin awal dideteksi, makin dini diterapi, hasil terapinya akan makin optimal,’’ terang Sisca. Latihan dilakukan di sesi terapi. Lalu, orang tua mengulang kembali di rumah. Sisca menyatakan, ABK yang akan bersekolah di sekolah umum perlu dibiasakan dengan situasi kegiatan sehari-hari. Misalnya, paham jadwal harian. Begitu pula keterampilan lain seperti mengemas buku dan alat tulis, serta bersosialisasi dengan teman.

Jika dinilai belum mampu mengendalikan emosi atau memiliki coping strategy, anak tidak perlu dipaksa sekolah. ’’Bagaimanapun, target pendidikan bukan kejar tayang, anak harus lulus jenjang A pada usia berapa. Namun, anak siap bersosialisasi di masyarakat dan mandiri,’’ katanya. Salah satu sekolah yang menyediakan diri menjadi sekolah inklusi adalah Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya. Kepala SD SAIM Ahmad Mukhtar Fanani menyebutkan bahwa kapasitas bagi siswa spesial dibatasi 2–3 siswa spesial di antara total 22 murid per kelas. ’’Range ABK-nya beragam. Ada anak dengan autisme, slow learner, maupun anak dengan gangguan pendengaran,’’ paparnya.

Sama dengan yang lain, seluruh calon siswa melalui proses seleksi. Guru kelas IV SD SAIM Hamdiyatur Rohmah menjelaskan bahwa calon siswa melalui tes akademik, fisik, dan observasi tim psikolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Berdasar hasil tes, biasanya tim sudah mendapat gambaran kemampuan anak. ’’Orang tua hendaknya terbuka tentang kondisi anaknya sehingga kami bisa menentukan program yang pas buat anak,’’ ujar Hamdiyah. Di kelas, anak tetap akan didampingi shadow, pendamping ABK dari tim sekolah. ’’Biar pendampingan bisa match dengan belajar-mengajar kami,’’ lanjutnya. Selama belajar-mengajar, siswa spesial bakal mengikuti pelajaran sama dengan lainnya.

Pembedanya di lembar kerja siswa (LKS). Meski formatnya sama, bobot soal disesuaikan. ’’Kalau beda, mereka malah nggak mau mengerjakan,’’ kata Mukhtar. Pada akhir tahun pelajaran, mereka akan naik kelas. Kelas mereka kembali diacak. ’’Pertemanannya sama kayak lainnya. Meski bukan shadow, anak yang non-ABK sangat mendukung dan membantu temannya yang spesial,’’ ucap Hamdiyah. (fam/c14/nda)

Tags

Terkini