berita-hari-ini

OPINI: RUU Pertanahan dan Ketimpangan Masyarakat

Minggu, 6 Oktober 2019 | 11:10 WIB
Herdiyatna, Aktivis Lingkungan, Kota Bogor

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat dasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup baik secara langsung maupun tidak selalu memerlukan tanah. Tanah juga mempunyai arti penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan oleh sebagian besar rakyat Indonesia senantiasa membutuhkan dan melibatkan soal tanah. Mengingat filsuf di era Revolusi Prancis, Jean Jacques Rousseau, terjadinya ketimpangan dimulai dari saat ketika orang menutup sebidang tanah dan mengatakan “ini milikku”. Rousseau tetap menganggap bahwa hak milik adalah hak yang paling suci dari semua hak warga negara. Bahkan sebagian besar masyarakat, tanah dianggap sebagai suatu yang sakral, karena di sana terdapat simbol status sosial yang dimilikinya. Tanah dibutuhkan oleh banyak orang sedangkan jumlahnya tidak bertambah atau tetap. Sehingga tanah yang tersedia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, terutama kebutuhan akan tanah untuk membangun perumahan sebagai tempat tinggal, untuk bercocok tanam atau pertanian, serta untuk membangun fasilitas umum dalam rangka memenuhi tuntutan terhadap kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Patut kita ketahui janji lama tentang reforma agraria, menjadi dasar tujuan mengapa masyarakat sering menginginkan reforma agraria. Maka siapapun pemimpinya dan wakil rakyatnya, harus menjalankan reforma agraria. Namun reforma agraria tidak berjalan mulus setelah orde baru tumbang 1998. Pascareformasi sampai sekarang, konflik agraria semakin meningkat. Sepanjang 2018, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya telah terjadi konflik agraria dengan luas wilayah mencapai 807.177, 613 hektare dan melibatkan 87.568 kepala keluarga (KK) di berbagai provinsi di Indonesia. Dengan demikian, secara akumulatif sepanjang empat tahun (2015-2019) pada pemerintahaan Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 1.769 letusan konflik agraria. Dari ledakan konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan sepanjang tahun ini, sebanyak 83 kasus atau 60% terjadi di perkebunan komoditas kelapa sawit. Sementara pembangunan di sektor properti lagi-lagi menjadi penyumbang konflik agraria ke dua, sebanyak 137 kasus. Salah satu konflik agraria yang meletus tahun ini adalah akibat gencarnya pembangunan kawasan industri properti dan real estate, salah satunya pembangunan kota baru “Millenium City” seluas 1.388 hektar, yang luas wilayahnya di lintasi Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bogor. Dari total luas tanah yang menjadi obyek pembangunan di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, merupakan tanah yang berstatus konflik antara warga dan TNI. Di kota Bandung, terjadi konflik kepemilikan tanah antara warga dan pemerintah kota (pemkot). Konflik berawal dari rencana Pemkot Bandung yang akan membangun rumah deret di lokasi pemukian warga. Pembangunan ini mengancam sedikitnya 90 bangunan milik 120 KK. Masalah agraria lain tidak kalah pentingnya. Masih di sektor properti, terjadinya monopoli tanah oleh pihak pengembang swasta Sentul City, perusahaan yang dimiliki Kwee Cahyadi Kumala tersebut memiliki lahan seluas 15.000 hektar di Bogor dan Jonggol. Dari luas tanah tersebut, baru 2.000 hektar yang mereka kembangkan. Ada lagi Sinarmas Land yang menguasai tanah sangat luas. Cadangan tanah yang mereka miliki mencapai 10.000 hektare per semester 1 tahun 2017, tersebar di Maja, Serpong, dan Bekasi. Kondisi ini menjadi sangat kontras di tengah masih banyaknya masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan dan tidak memiliki tempat layak huni, atau menjadi tunawisma. Bahkan tidak sedikit dari mereka digusur akibat kuatnya arus pembangunan kota-kota. Penguasaan tanah oleh swasta tersebut telah membuat kota-kota melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Tingginya angka konflik agraria di setiap daerah Indonesia mencerminkan keberpihakan pemerintah kepada kaum pemodal/borjuis. Ketimpangan masyarakat yang mengalami perampasan lahan, baik itu dilakukan oleh swasta maupun pemerintah, menjadikan negara ini jauh dari amanat Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Persoalan gelombang politik Nasional mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Pertanahan (RUU Pertanahan) yang akan disahkannya tidak sepenuhnya mewakili mayoritas masyarakat Indonesia. Seperti pasal 25 RUU Pertanahan, membuka celah bagi pihak manapun untuk menafsirkan seluas-luasnya. RUU Pertanahan penuh dengan pengecualian sehingga kepastiannya kurang, tidak terlalu jelas. Pasal 91, 94, 95, dan 100 RUU Pertanahan merupakan konsep Domein Verklaring zaman kolonial. RUU Pertanahan berpotensi menyebabkan terjadinya perampasan hak atas tanah atas nama perubahan tata ruang dan kepentingan umum. Pengadaan tanah atas kepentingan umum sering digunakan untuk merampas hak atas tanah masyarakat. RUU Pertanahan juga belum memperhatikan seutuhnya perlindungan ekosistem. Tidak dapat di pungkiri bahwa tanah merupakan bagian dari ekosistem yang memiliki fungsi tertentu. Pengelolaan tanah yang hanya memandang tanah sebagai sebidang lahan yang dapat menjadi komoditas akan mengakibatkan tidak selarasnya kebijakan pertanahan dengan kebijakan perlindungan lingkungan hidup. RUU Pertanahan belum mencakup inventarisasi tanah berdasarkan kondisi atau fungsi tanah yang akan berpengaruh pada pengelolaannya. Contoh, tanah yang bergambut yang pemanfaatannya terbatas oleh fungsi lindungnya, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Penulis Herdiyatna, Aktivis Lingkungan, Kota Bogor.

Tags

Terkini