berita-hari-ini

Memangnya Masyarakat Mau Menerima WNI Eks Kombatan ISIS?

Selasa, 11 Februari 2020 | 02:00 WIB

METROPOLITAN - Banyak pihak yang tidak setuju dengan pemulangan ratusan eks WNI kombatan ISIS yang kini hidup di kamp-kamp. Penolakan itu didasari kekhawatiran bahwa mereka akan membawa dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Sebagian dari mereka juga telah merobek serta membakar paspor saat menyatakan ikrarnya bergabung dengan kelompok teroris itu. Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid menilai, setiap orang bebas memilih dan menentukan kewarganegarannya. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Dengan demikian untuk menyikapi soal ini tidak terlepas dari dimensi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945),” kata Fahri, Minggu (9/2/2020). Akademisi Universitas Muslim Indonesia, Makassar ini memandang terdapat kompleksitas dari sisi teknis yuridis jika mengunakan instrumen UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Menurutnya, dalam pasal 23 poin d menyebutkan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraanya jika yang bersangkutan masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden. “Ini tentu membutuhkan kajian dan pendalaman dari segi teori, doktrin, serta kaidah hukum internasional sepanjang berkaitan dengan eksistensi dan kedudukan ISIS sebagai subjek hukum internasional,” terang Fahri. Fahri memandang, WNI eks ISIS ini secara hukum telah kehilangan kewarganegaraan (stetles) jika suatu waktu atas dasar hak konstitusional dan kemanusiaan pemerintah Indonesia memutuskan untuk mereka dipulangkan ke tanah air. Karena itu, jika mereka ingin dipulangkan harus melalui tahap identifikasi. “Mereka sangat radikal dan ekstrem, nanti proses assesment, deradikalisasi itu di bawah tanggung jawab BNPT atau siapa,” “Yang paling penting adalah tingkat penerimaan masyarakat setempat. Diterima apa malah dikucilkan?” jelas Fahri. Salah satu yang menyatakan ketidaksetujuan pemulangan ratusan WNI eks kombatan ISIS di antaranya Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin. Menurutnya, WNI yang memilih bergabung dengan ISIS harus mempertanggungjawabkan sikapnya sendiri tanpa membebani pemerintah. Demikain disampaikan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (9/2/2020). “Siapa-siapa yang terdiri untuk dan atas nama dirinya, untuk kesenangan dirinya memilih ideologinya. Kemudian pergi dan ke luar dari Indonesia dan menempuh jalan surgawinya, tempuhlah jalanmu,” ujarnya. “Kau selamat atau kau tidak selamat itu urusanmu. Jangan lagi membebani negara dan pemerintah serta rakyat Indonesia dengan rencana pemulanganmu,” sambungnya. Bagi Ngabalin, orang yang telah memilih ideologi dan bergabung dengan ISIS secara terang-terangan mengecap Indonesia sebagai negara thogut. “Karena kau sudah menyebutkan negara ini negara thogut, negara kafir dan merobek membakar paspornya, makan itu kau punya paspor (hilang),” tegas Ngabalin. Ngabalin menyebut, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memang memiliki program deradikalisasi. “Tetapi mereka bukan badan yang dibuat oleh negara untuk menjadi pemadam kebakaran, bukan,” katanya. Politisi Partai Golkar itu mengklaim sebanyak 60 persen lebih rakyat Indonesia menolak rencana pemulangan tersebut ke Indonesia. “Hampir seluruh tempat, di mana saya hadir menjadi narasumber atas nama pemerintah dan KSP, selalu rating untuk menolak. Itu lebih dari 60 persen,” kata Ngabalin. Akan tetapi, tambah Ngabalin, Presiden Joko Widodo tetap akan menimbang pendapat dari para ahli maupun masyarakat terkait wacana tersebut. “Pada waktunya nanti bapak Presiden tentu akan menimbang dari draf-draf yang ada. Mungkin bulan Mei atau Juni itu (keputusan),” jelasnya. Ngabalin menyatakan, pemulangan eks kombatan ISIS itu memiliki risiko besar dan bisa berdampak pada kondusifitas kehidupan masyarakat. “Berbahaya bagi kepentingan bangsa dan negara, kemudian legacy buruk pemerintah rakyat Indonesia,” terangnya.

Tags

Terkini