METROPOLITAN.id - Predikat kota atau kabupaten layak anak menjadi dambaan setiap wilayah, tak terkecuali Kabupaten Bogor. Namun pertanyaannya, apakah pemangku kepentingan di Kabupaten Bogor sudah menjalankan upaya-upaya serius untuk mewujudkan keinginan besar tersebut? Kondisi itu yang kemudian coba diungkap lewat diskusi yang digelar oleh lembaga Pusat Kajian Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PKG-P3A) di kantor Yayasan Visi Nusantara Maju, Cibinong, Kabupaten Bogor, Rabu (4/3). Mengangkat tema 'Bogor (Sudah) Layak Anak?', diskusi ini menghadirkan sejumlah nara sumber. Ada Kepala Bidang Kesejahteraan dan Perlindungan Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Bogor Shinta Damayanti dan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bogor, Ipda Silvi Adiputri. Lalu ada Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju Yusfitriadi, Direktur PKG-P3A Imam Sunandar, perwakilan media Ira Nihrawati, Aktivis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Heni Rustiani dan Kabid Dakwah & Kajian Keagamaan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat Asep Saepudin. Selain mereka, dua orang anggota DPRD Kabupaten Bogor Ridwan Muhibi dan Ruhiyat Sujana ikut menjadi nara sumber dalam diskusi terkait perempuan dan anak tersebut. Kepala Bidang Kesejahteraan dan Perlindungan Anak pada DP3AP2KB Shinta Damayanti mengatakan, ada lima predikat kabupaten/kota layak anak. Yakni Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan Kabupaten/Kota Layak Anak. Sejauh ini, belum ada kabupaten/kota di Indonesia yang berhasil meraih predikat Kabupaten/Kota Layak Anak. Kabupaten Bogor sendiri pernah meraih predikat Nindya namun turun ke Madya. "Menanggulangi persoalan anak dan perempuan memang sulit. Kabupaten Bogor juga belum punya Peraturan Daerah (Perda) Layak Anak. Padahal itu juga jadi salah satu upaya untuk mewujudkan kabupaten layak anak," kata Shinta. Sepanjang 2019, DP3AP2KB melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menangani 123 kasus menyangkut anak dan perempuan. Di antaranya soal kekerasan, pelecehan hingga pencabulan. Jumlah tersebut tergolong tinggi. Namun, Shinta mengaku telah melakukan sosialisasi dan upaya-upaya pencegahan lainnya. "Kalau pelaporan, makin banyak belum tentu kasusnya semakin meningkat. Mungkin sekarang orang sudah semakin mengerti kemana melapor, karena sebelumnya ada juga yang takut melapor, ada juga yang tidak tau ke mana melapor. Yang penting bagaimana menanganinya," ungkapnya. Untuk penanganan kasus anak dan perempuan, biasanya membutuhkan psikolog. Sayangnya, di Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, P2TP2A hanya ada satu psikolog dalam seminggu, yakni pada hari Selasa. Padahal, peran psikolog sangatlah penting dalam penyelesaian kasus anak. "Untuk datang ke kantornya memang cuma sekali seminggu. Tapi mereka siap kok dipanggil kalau kasusnya mendesak. Biasanya bisa. Memang kekurangan. Karena kalau pakai dari luar biasanya itu berbayar, masalahnya pelapor mau ngga membayar," ujar Shinta. Di tempat yang sama, Kanit PPA Polres Bogor Ipda Silvi Adiputri mengaku ada 74 kasus anak dan perempuan sepanjang 2019. Jumlah tersebut berbeda dari yang ditangani P2TP2A lantaran Polres Bogor tidak memasukan kasus di wilayah Bojonggede karena masuk wilayah hukum Polres Depok. Biasanya, masalah anak dan perempuan dilatarbelakangi faktor ekonomi, keluarga hingga pendidikan. Untuk itu, peran aktif semua elemen sangat dibutuhkan jika ingin menekan angka kasus yang menyangkut anak dan perempuan. "Susah memang, kalau kami di kepolisian bagian fungsi represif, di mana sudah ada tindak pelanggaran kami bertindak. Kalau fungsi preventifnya kami serahkan ke instansi terkait," kata Silvi. Terkait laporan kasus anak yang harus ke Polres Bogor dan tidak bisa dilakukan di Polsek, Silvi mengaku sebetulnya tidak ada kebijakan baku soal hal tersebut. Sebab ketika di Polres, yang menangani kasus pun bukan hanya polwan. "Tergantung kebijakan pimpinan masing-masing. Terkadang yang jauh juga kita limpahlan ke polsek untuk percepatan. Kalau memang buktinya ada, ada tindak pelanggarannya, silakan lapor. Kami tidak pernah menolak laporan. Tinggal nanti kita lihat apa yang dilaporkan, kalau memenuhi unsur kita buat laporannya dan kita tindaklanjuti," terangnya. Berkaca pada laporan-laporan yang pernah masuk, ada kendala yang memang dihadapi. Banyak laporan yang tidak ada saksi, padahal untuk lanjut ke tahap penyelidikan, minimal ada satu saksi dan satu rekam medis atau hasil visum. Sementara tidak semua kasus anak ada hasil visumnya, seperti kasus pencabulan ringan. "Kendalanya di situ. Kalau tidak lengkap, agak riskan juga naik ke tahap selanjutnya karena rawan praperadilan kalau seperti itu. Untuk psikolog juga memang idelanya perzona ada satu psikolog. Kalau sekarang misal laporan hari Rabu, kita kasih pengantar visumnya Kamis, otomatis dia harus balik lagi Selasa untuk bertemu psikolog. Jadi bolak-balik, kalau ada setiap hari kan tidak mesti seperti itu," ungkap Silvi.
-