Sejak pagi hari, Fahriwanto (45) hanya bisa duduk termenung di kursi becaknya, menanti penumpang pertamanya hari ini. Rambutnya terlihat acak-acakan, seluruh badan diselimuti debu jalanan, keriput pun tampak jelas di wajah pria asli Purwokerto itu. Tak seorang diri, sejumlah tukang becak lainnya pun mengalami nasib yang sama seperti Fahriwanto. Fahri mengatakan, pada masa pandemi wabah Covid-19, penumpang yang masih menggunakan jasa becaknya bak pelita dalam kegelapan. “Dapat satu (penumpang, red) juga sudah syukur banget sekarang mah,” katanya di Jalan Pemuda, Pancoran Mas, Kota Depok, kemarin. Uluran tangan dari para dermawan pun kini menjadi harapan satu-satunya untuk menyambung hidup. “Kadang ada yang datang kasih nasi boks atau masker, atau orang lewat ngasih nasi bungkus. Tapi semakin hari semakin sepi,” katanya. Sudah 24 tahun lamanya Fahri bekerja jadi tukang becak. Saat ini merupakan puncak hari-hari terberatnya mengais rezeki. Bagaimana tidak, hari-hari sebelum adanya wabah Covid-19, penghasilannya pun hanya menyentuh angka maksimal Rp50 ribu per harinya dari kurang lebih tiga sampai empat penumpang. “Sebelum corona biasanya tiga sampai empat penumpang setiap hari, sekarang mah benar-benar hilang. Seminggu narik cuma dapat satu penumpang ini mah,” katanya. Akibat kondisi ini, hanya pengertian yang bisa ia berikan pada anak istrinya di kampung halaman. Jangankan untuk mengirim uang, ia sendiri pun kini hanya bisa menahan rasa lapar sebelum adanya penumpang atau pun dermawan yang memberi makan. “Maunya mah pulang ke kampung, tapi ya pulang juga nggak bawa apa-apa,” ucapnya melamun. Fahri berharap pandemi wabah Covid-19 ini bisa berakhir dan semua kembali seperti semula, agar ia bisa mendapat penghasilan yang cukup untuknya dan keluarga di kampung halaman. “Maunya mah cepat selesai saja, biar ramai lagi ada penumpang,” pungkasnya. (tib/els/run)