Senin, 22 Desember 2025

Intip Drama (William) Shakespeare di Leicester City

- Senin, 20 Maret 2017 | 18:00 WIB

METROPOLITAN – Pujangga Inggris, William Shakespeare, kerap memasukkan unsur pengkhianatan dalam karyanya. Salah satunya adalah Marcus Junius Brutus Caepio dalam kisah Julio Caesar. Brutus pada awalnya adalah teman seperjuangan dan sahabat dekat Julius Caesar. Namun, Brutus termakan hasutan sejumlah senator lain yang tidak puas akan kepemimpinan Julius Caesar. Dia pun berkomplot untuk menggulingkan sahabatnya itu. Pada sebuah momen ketika Sang Kaisar naik mimbar, Publius Servilius Casca menarik lengan dan menikam leher Caesar. "Sic semper tyrannis!" teriak Brutus—yang bermakna "matilah bersama tiran"—saat pembunuhan Caesar, seperti dikisahkan beberapa literatur. Brutus diceritakan menutup sebagian wajahnya dengan jubah pada saat kejadian itu. Namun, Caesar ternyata tetap mengenalinya. "Et tu, Brute (Engkau juga, Brutus)!" kata Caesar seolah tak percaya bahwa sang sahabat karib telah mengkhianatinya dan berkomplot untuk membunuhnya secara sadis. Seusai pembunuhan itu, Brutus mengklaim bahwa dia dan komplotannya telah membebaskan Roma. "Saya memang mencintai Caesar, tetapi saya lebih cinta Roma. Kita tidak perlu takut dia lagi. Utang ambisi itu telah dibayar lunas," ucap Brutus seusai pembunuhan Caesar. Brutus dan komplotannya memang mendapat amnesti. Hanya, Octavianus, keponakan Caesar yang naik jabatan, lantas melabeli Brutus dkk sebagai pembunuh dan musuh negara. Pada akhirnya hayatnya, Brutus mati bunuh diri seusai kalah dalam peperangan melawan pasukan Marcus Antonius alias Mark Antony, salah satu jenderal perang Roma dan orang kepercayaan Caesar. Terlepas dari statusnya sebagai pembunuh Caesar, Brutus mendapat perlakuan layak saat dimakamkan. Antony memakai jubah termahalnya untuk menyelimuti jasad Brutus. Nama Brutus kemudian "diabadikan" menjadi cap bagi para pengkhianat, yang memang biasanya berasal dari lingkaran dalam seseorang. King Lear Dalam karya lainnya, Shakespeare menuliskan kisah pilu tentang Raja Lear. Dalam sandiwara "King Lear", Shakespeare menceritakan kisah pengkhianatan sejumlah orang terdekat Raja Leir. Berdasarkan History of the Kings of Britain, Leir disebutkan sebagai pendiri Leicester City. Patung sang raja pendiri Kota Leicester itu kini bisa ditemui di Danau King Lear di Watermead Country Park. Patung tersebut merupakan gambaran dari adegan akhir sandiwara "King Lear". Sang raja tampak bersedih ketika melihat putri kesayangannya, Cordelia, tak bernyawa. Dia pun mengutuk para pengkhianat, lalu memilih jalan kematiannya sendiri. Beberapa abad setelah kematian Raja Leir dan putrinya, dugaan pengkhianatan juga terjadi di Leicester City, klub kebanggaan kota tersebut. Bedanya, Shakespeare di klub berjulukan The Foxes alias Si Rubah itu tidaklah menjadi pembuat cerita, melainkan lakon utamanya. Adalah Craig Shakespeare yang menjadi subyek utama cerita. Dia adalah mantan asisten pelatih Claudio Ranieri sekaligus dicap sebagai "penikam" dalam proses pemecatannya. Seperti halnya Julius Caesar, Ranieri merupakan anak asli Kota Roma. Sepanjang hidupnya, Caesar telah mewariskan sejumlah hal berharga dalam hal kesusastraan, politik, maupun budaya. Demikian pula dengan Ranieri. Dia menjadi pelatih tersukses sepanjang 133 tahun sejarah Leicester City dengan mempersembahkan gelar juara Premier League, kasta teratas Liga Inggris. Mantan pelatih tim nasional Yunani itu mengubah tim kandidat terdegradasi pada musim sebelumnya menjadi laiknya rubah yang pintar, gesit, dan pemberani. Leicester meraih gelar juara Liga Inggris setelah tampil luar biasa lantaran hanya tiga kali tersentuh kekalahan. Melawan sejumlah klub besar, kecuali Liverpool dan Arsenal, pasukan Ranieri tampil sebagai hewan pemangsa. Pada akhir musim 2015-2016, publik sepak bola dunia pun terkagum-kagum atas pencapaian Ranieri. Untuk kali pertama sepanjang kariernya, pelatih berjulukan Mr Runner-up itu bisa mempersembahkan trofi juara liga. Raja baru pun lahir di Tanah Inggris, bukan dari klub-klub golongan "bangsawan" seperti Manchester City, Chelsea, Arsenal, Manchester United, bahkan Liverpool, melainkan dari kota yang didirikan oleh Raja Leir. Richard III Dua bulan sebelum Leicester sukses menjadi "Raja Premier League", BBC mengait-ngaitkan Ranieri dengan Richard III, Raja Inggris antara 1483 dan 1485—dikisahkan Shakespeare dalam karyanya dengan judul serupa. Dia meninggal dunia dalam Pertempuran Bosworth, lalu dimakamkan di Leicester. "Richard III merupakan pemimpin yang menginspirasi," tulis Dr Phil Stone, sejarawan yang punya ketertarikan khusus terhadap kiprah Richard III. "Dia menjadi sangat populer karena begitu perhatian. Bahkan, dia selalu menyediakan bantuan medis maupun spiritual bagi pasukannya," tuturnya mengisahkan. Ranieri pun demikian. Apabila Richard III dikenal sebagai diktator dan kata yang diucapkannya sebagai hukum negara, Ranieri cenderung bersifat ramah dan lucu. Sejumlah wartawan bahkan menjulukinya badut. "Claudio itu lucu dan bisa menghadirkan tawa. Di bawah dia, Leicester akan menjadi klub olahraga paling hebat yang pernah dikisahkan," kata Ian Stringer, koresponden BBC Leicester pada Maret 2016. Sejumlah anggapan "nakal" pun muncul. Mungkinkah Raja Richard III akan bisa memenangi Pertempuran Bosworth apabila memiliki karisma dan kepemimpinan seperti Ranieri? Ranieri pada akhirnya memang sukses mengantarkan Leicester menjadi juara Premier League. Namun, dari keberhasilan ini jualah, para "pembenci" dia lahir. Julius Caesar "Veni, Vidi, Vici!" merupakan semboyan yang tertulis di salah satu kereta kuda dalam parade kemenangan Julius Caesar. Frasa itu berarti, "Saya datang, saya melihat, saya telah menaklukkan." Frasa latin itu pun cocok disematkan kepada Ranieri. Dia langsung mempersembahkan gelar juara pada musim pertamanya bersama Leicester. Tak heran, dia pun disebut-sebut mirip Julius Caesar. "King Claudio," tulis media Italia, La Gazzetta dello Sport, menyoroti keberhasilan Claudio Ranieri mengantarkan Leicester menjadi juara Premier League. Dalam tajuk utama itu, lengkap pula wajah Ranieri dengan mahkota seperti yang dipakai Julius Caesar.
View image on Twitter
-
"Prestasi terbaik yang pernah dihadirkan pelatih Italia," tulis Il Corriere dello Sport. Ranieri menjadi pelatih kedua asal Italia, setelah Carlo Ancelotti, yang berjaya di tanah Inggris. Seperti halnya Caesar, Ranieri begitu luar biasa dalam memompa semangat anak asuhnya. Bahkan, traktiran piza saja sudah bisa membuat semangat pasukannya berlipat ganda untuk mengalahkan lawan. Dibuai dengan segala kemewahan itu tampaknya telah membuat Ranieri berubah. Sejumlah "keanehan" terjadi pada musim keduanya di Leicester. "Star syndrome" tampaknya menguasai Ranieri. Hubungan dia dengan sejumlah orang dekat berubah. Diberitakan The Telegraph, mantan pelatih Chelsea itu sudah jarang lagi berbicara dengan asistennya, Craig Shakespeare. Padahal, Shakespeare merupakan figur paling populer di kamar ganti pemain karena sudah berada di bangku cadangan Leicester sejak 2011. Paling mencolok dari sikap "aneh" Ranieri adalah ketika memecat Ken Way, psikolog olahraga tim, pada awal musim 2016-2017. Dia dianggap tidak dibutuhkan lagi oleh Ranieri. Padahal, Way punya peran penting dalam keberhasilan Leicester menjadi juara Premier League. Statusnya sebagai performance psychologist tak hanya membantu dari sisi teknis, pun sebagai penjaga motivasi bertanding Jamie Vardy dkk. "Ada dua psikolog di klub ini, saya dan Claudio. Ucapan dia kepada tim sama seperti yang diceritakannya kepada media," tutur Way kepada BBC, Mei 2016. "Intinya, dia meminta kami fokus pada proses, bukan pada hasil akhir. Kata-kata yang dia gunakan telah membuat saya terkagum-kagum," ucapnya lagi. Akan tetapi, kekaguman sang asisten tak mendapat respons positif dari Ranieri. Dia tampaknya tak mau perannya sebagai motivator tim tersubstitusi oleh kehadiran Kay. Ranieri lantas mengeliminiasi Way, seperti halnya Macbeth membunuh Banquo dalam kisah Macbeth karya Shakespeare. Tanpa Way, para pemain Leicester seolah hilang kendali. Kartu merah kepada Jamie Vardy atau protes keras saat wasit menghadiahkan penalti pada laga kontra Stoke City, Desember lalu, bisa jadi merupakan efek dari kehilangan Way. "To be thus is nothing. But to be safely thus. Our fears in Banquo. Stick deep; and in his royalty of nature. Reigns that which would be feared." - Macbeth  Hal paling nyata dari perubahan Ranieri adalah putusannya dalam merotasi pemain. Padahal, saat menjadi juara, Leicester menjadi tim yang konsisten karena tak pernah melakukan banyak perubahan. Situasi berbeda terjadi pada musim 2016-2017. Ranieri seolah kembali ke sifat aslinya. Label The Tinkerman sebagai orang yang suka bergonta-ganti taktik, seperti tertulis di kamus populer Inggris, muncul lagi saat Leicester berupaya mempertahankan gelar.  
-
Formasi 4-4-2—yang bisa bertransformasi menjadi 4-4-1-1— menjadi andalan Ranieri saat Leicester menjadi juara Premier League.
Berdasar Transfermarkt, Ranieri memakai formasi tersebut dalam 37 dari total 38 pertandingan Premier League. Pengecualian terjadi pada laga pamungkas ketika dia menerapkan 4-5-1 dalam laga yang tak lagi menentukan di kandang Chelsea. Bandingkan dengan musim ini. Dari sumber yang sama, terlihat Ranieri mencoba formasi 4-4-2, 4-2-3-1, 4-3-1-2, 4-1-4-1, bahkan 3-5-2. The Foxes juga terlihat tak lagi bermain menunggu, tetapi selalu mencoba terlebih dahulu mengambil inisiatif serangan. Hal itu mungkin saja dicoba Ranieri untuk memfasilitasi sejumlah pemain baru yang dibeli dengan total dana belanja 80 juta poundsterling, rekor pengeluaran klub. Namun, putusan-putusan tak populer itu telah menghasilkan nada miring dari internal tim. Salah satu contohnya adalah ketika memaksa Ahmed Musa bermain di posisi sayap kanan dan menggeser Riyad Mahrez ke gelandang serang saat menghadapi Sevilla pada pertandingan pertama babak 16 besar Liga Champions, Rabu (22/2/2017). Leicester kalah 1-2 pada laga ini. "Bukan sebuah kejutan karena beberapa kali dia telah membuat putusan gila musim ini," sebut sumber internal Leicester kepada The Telegraph. Pada awal 2017, para pemain Leicester sebenarnya sudah meminta kepada Ranieri untuk kembali ke formasi andalan seperti pada musim lalu. Akan tetapi, Ranieri menepis semua usulan itu dan seolah menegaskan bahwa hanya boleh ada satu suara di klub, yaitu dari dia! Sikap otoriter laiknya Julius Caesar itu akhirnya membuat Ranieri kena getahnya. Mosi tidak percaya muncul. Dia pun dianggap sebagai dalang dari performa buruk Leicester musim ini. Memang, Ranieri tak sepenuhnya bisa disalahkan dalam penurunan performa Leicester. Kehilangan sejumlah pemain kunci dan "star syndrome" yang menjangkit para pemain—terutama ketika menaiki mobil mewah saat diperkenalkan pada awal musim—menjadi penyebab lain penurunan performa tim. Belum lagi campur tangan Chairman Vichai Srivaddhanaprabh. Pemilik klub asal Thailand itu dianggap telah mengganggu independensi Ranieri sebagai manajer dengan menempatkan Jon Rudkin, orang dekatnya, sebagai direktur teknis tim. Hanya, sebagai seorang manajer, Ranieri memang menjadi sosok yang paling bertanggung jawab terkait performa tim. Kamis (23/2/2017) atau sehari setelah pertandingan kontra Sevilla, di Hotel Radisson Blu dekat Bandara East Midlands, dia harus menerima putusan pemecatan. "Semua mimpi saya berakhir kemarin," kata Ranieri sehari setelah dirinya dipecat. Kisah Shakespeare Craig Shakespeare yang awalnya berstatus asisten pelatih naik jabatan menjadi manajer sementara. Promosinya Shakespeare berbanding lurus dengan peningkatan performa Leicester. Dalam tiga pertandingan selepas Ranieri pergi, Vardy dkk meraih tiga kemenangan beruntun, salah satunya melawan tim papan atas, Liverpool. Terbaru, mereka menang 3-2 atas West Ham United, Sabtu (18/3/2017)—kemenangan tandang pertama Leicester di liga sejak 11 bulan lalu. SUMBER : KOMPAS

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X