METROPOLITAN - Para petani di Desa Wangunreja, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, mencemaskan tanaman pada miliknya busuk seiring curah hujan semakin meningkat. Kendati hasil produksi pertanian mengalami peningkatan cukup signifikan dibandingan musim panen lalu, tapi ancamam tidak optimalnya penyinaran matahari bisa menganggu harga jual. “Hujan terus menerus mengguyur Sukabumi sangat menganggu pengeringan gabah. Akibatnya tidak hanya busuk, tapi kini gabah yang tersimpan di rumah telah keluar kecambah,” kata petani Desa Wangunreja, Taryawan, kemarin.
Padahal sebelumnya, kata Taryawan, petani Wangunreja sempat menikmati hasil produksi gabah kering kisaran Rp 660 ribu per kuintal. Sementara harga gabah basah tembus kisaran Rp. 4.550 per kilogram atau sekitar Rp 450 ribu per kuintal. Tapi harga tersebut kemungkinan kembali anjlok seiring minimnya penerangan. ”Kami hanya menikmati musim tanam lalu. Sedangkan musim tanah ini dibayang-bayangi merugi karena kualitas sangat rendah, karena pembusukan,” katanya.
Hal serupa dialami petani di Kecamatan Waluran, Jampang Tengah, Cidolog dan Kecamatan Sagaranten. Para petani mengaku, memasuki musim penghujan ini hasil jerih payahnya malah berujung rugi. Guyuran hujan berlebih tidak hanya menyebabkan sebagian lahan pertaniannya malah terendam banjir. Tanaman padi di sejumlah desa di Kecamatan Cidolog malah habis disapu banjir bandang. “Kalaupun masih tersisa, sebagian besar tanaman padi malah membusuk karena terendam banjir bandang. Akibatnya, petani merugi hingga juta rupiah,” kata salah seorang petani Waluran, Sahiri.
Sahiri mengatakan, hasil panen yang diperoleh hanya di kisaran 25-30 persen. Sebelumnya, hasil panen bisa mencapai 20 kuintal, kini hanya didapat kurang dari 8 kuintal setiap hektarnya. “Sebagian besar tanaman memamasuki musim panen malah terendam sehingga membusuk,” katanya.
Selain terendam banjir bandang, kata Sahiri, para petani mengalami kesulitan untuk menjemur. Kondisi ini sangat berdampak kualitas hasil pertanian yang menjadi merosot. “Padi yang diperoleh banyak mengandung air, karena sulit dijemur. Bahkan beberapa orang petani mengeluh, karena terlambat menjemur, kini butiran berubah menjadi kehitam-hitaman,” katanya. “Bila tidak segera dilakukan pengeringan, gabah tidak terjual. Kami terpaksa harus segera menjual gabah dengan harga relatif murah,” katanya.
Merespon hal ini, Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi, Kardina Karsoedi, mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan tanaman padi di Kota Sukabumi relatif bagus jika dibandingkan daerah lain. Produksinya bisa mencapai 6,5 ton hingga 6,7 ton/hektare. "Musim tanam kali ini sedang bagus,” katanya.
Kardina Karsoedi mengatakan tingkat produksi perhektare dikali tingkat pertumbuhan dikali luas lahan sawah, tingkat produktivitas di Kota Sukabumi sekitar 24 ribu ton gabah kering panen. Itu perhitungan dari luasan lahan sawah di Kota Sukabumi yang kini hanya tersisa sekitar 1.480 hektare. “Tingkat pertumbuhannya sebanyak 2,4 masa tanam,”katanya.
Di Kota Sukabumi, kata Kardina Karsoedi, tidak mengenal istilah panen raya. "Musim tanam Kota Sukabumi lebuh dulu dibandingkan di daerah lain. Sehingga kegiatan musim tanam dan panen itu tidak serentak dilakukan para petani. Jadi, di Kota Sukabumi itu tidak ada istilah panen raya padi. Musim tanam dan musim panen malah silih bergantian,” katanya.
(ahm/pik/ram/run)