METROPOLITAN - Tepat pada Sabtu (17/8), masyarakat Kabupaten Bogor mendeklarasikan diri sudah merdeka dari plastik, melalui Peraturan Bupati (Perbup) yang mengatur tentang Bogor Asri Tanpa Plastik (Antik) di seluruh tempat perbelanjaan modern. Begitu juga dengan pabrik plastik yang saat ini sedang diincar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor.
Gaya hidup yang semakin tidak terkontrol dalam penggunaan plastik menjadi penyebab utama Bupati Bogor Ade Yasin mengeluarkan perbup terkait pengurangan penggunaan plastik dan styrofoam untuk toko modern, pusat perbelanjaan, retail, hotel, restoran dan kafe. Sedangkan untuk perangkat daerah, instansi vertikal, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha milik swasta dan lembaga pendidikan juga tidak luput dari peraturan tersebut.
Kepala Bidang (Kabid) Pengolahan Sampah pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor, Atis Tardina, menyampaikan bahwa Perbup Antik adalah langkah awal Kabupaten Bogor dalam mengurangi jumlah penggunaan kantong plastik, sedotan dan styrofoam yang pemakaiannya sudah mencapai 11,6 juta lembar plastik per harinya. “Jika dirata-ratakan satu orang di Bogor menggunakan dua lembar kantong plastik setiap harinya, maka tinggal dikalikan saja jumlah penduduk yang sudah 5,8 juta. Jadi kurang lebih hasilnya segitu,” katanya kepada Metropolitan.
Walaupun sudah ada peraturan yang tentunya juga akan ada sanksi bagi yang melanggar, Atis menilai bahwa permasalahan sampah plastik tidak berhenti sampai pada penyedia saja. Tetapi yang paling penting adalah dari produsennya atau pembuatnya.
Atis mengaku hingga kini Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah mengamanahkan bahwa produsen harus bertanggung jawab atau disebut Extended Produsen Responsibility (EPR). “Saat ini EPR masih digodok pemerintah yang Insya Allah akan diselesaikan pada 2019 ini,” terangnya.
Atis melanjutkan, yang sulit dalam menangani masalah sampah adalah sampah kemasan. Sebab dalam satu kemasan itu biasanya ada beberapa layer atau lapisan yang menyulitkan proses daur ulang karena harus dipisahkan dulu lapisan per lapisannya. “Contohnya beberapa tahun lalu itu ada salah satu produsen mi instan yang memberlakukan penukaran sepuluh bungkus kemasan dengan satu buah mainan,” imbuhnya.
Di lokasi berbeda, Ketua Komunitas Greenna, Nina Nuraniyah, memberikan respons positif bahwa penerapan Antik adalah hal yang tepat. Sebab, menurutnya, plastik adalah sebuah hasil penemuan yang masih dibutuhkan manfaatnya. “Ini memang kembali kepada pola hidup ya. Jika kita berkaca pada Bali, di sana itu penerapan peraturannya paling bagus, dan gaya hidup masyarakatnya juga sudah peduli lingkungan,” singkatnya. (cr2/c/mam/run)