METROPOLITAN - Pagi itu matahari memancarkan sinarnya. Beberapa anak berjalan beriringan berpakaian seragam sekolah sembari mengendong tas dengan beralaskan sandal jepit. Mereka melangkahkan kakinya untuk menuntut ilmu.
Berjarak 63 kilometer dari Istana Presiden Republik Indonesia di Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, terdapat sebuah kampung terisolasi dari keramaian ibu kota.
Namanya Kampung Mulyasari. Berlokasi di Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor. Potret pendidikan di kampung ini jadi salah satu gambaran ketimpangan sosial yang terjadi antara DKI Jakarta dengan Kabupaten Bogor.
Kampung Mulyasari hanya memiliki satu sekolah yakni Sekolah Dasar (SD) 02 Sukamulya. Sekolah ini memiliki dua tenaga pengajar yang merupakan warga sekitar. Tak ada ruang-ruang kelas seperti pada umumnya. Di bawah kaki Gunung Pancaniti itu, mereka belajar di gedung serbaguna.
Ada kibaran bendera Merah Putih yang diikatkan pada pagar kayu karena tidak ada tiang bendera sebagaimana wajarnya sekolah yang memiliki tiang untuk upacara bendera.
Meski tak ada ijazah setelah lulus, anak-anak selalu menampakkan raut wajah penuh semangat saat mengikuti proses belajar mengajar di bangunan sekolah yang hanya memiliki luas kurang lebih 4×12 meter.
Teknis belajar mengajarnya pun harus bergantian. Saat siswa kelas satu sedang belajar, siswa kelas lainnya harus bergeser ke sisi pojok ruang kelas utuk menunggu giliran.
"Kemauan mereka belajar, tapi nggak ada ijazah, karena belajarnya hanya seadanya,” ujar salah seorang guru, Hasan.
Kondisi kelas jauh yang tidak memiliki fasilitas layaknya sekolah pada umumnya itu sudah dirasakan warga Kampung Mulyasari sejak 2011. Dengan segala keterbatasan warga, banyak pihak yang membantu Kampung Mulyasari seperti pembangunan musala, ruang kelas, MCK dan beberapa fasilitas umum lainnya. (*)