Kisah haru dibagikan seorang perawat pasien Covid-19 asal Sukabumi yang bertugas di Wisma Atlet Kemayoran, Dayantri Azhari. Ia terpaksa harus menahan rindu di tengah tugas garda terdepan melawan virus asal Wuhan, China, tersebut. KISAH itu dibagikan di salah satu grup warga Facebook MyPalabuhanratu. Di mana Dayantri bertugas merawat pasien sejak hari pertama Wisma Atlet disulap menjadi Rumah Sakit Darurat Covid-19 sejak akhir Maret lalu. Ia rindu kampung halaman namun menolak pulang karena tanggung jawab besar yang diembannya saat ini. ”Bismillah sudah hari ke 13 saya berada di RS Darurat Covid 19 Wisma Atlit Jakarta. Semoga kota tercintaku warga²nya sehat selalu dan semoga wabah ini segera berakhir,” tulis Daryanti mengawali. ”Saya sudah rindu pantai, senja dan ombak disana :).Saya sudah rindu makanan khas sana. Dan saya sudah rindu dengan orang-orang terdekat saya :). Tapi apa daya panggilan jiwa untuk menolong sesama lebih besar, mohon doanya untuk saya dan pejuang² covid lainnya agar diberikan kesehatan dan bisa pulang dengan wajah bahagia dan bisa kembali berkumpul dengan keluarga:). Salam Rindu dari salah satu pejuang Garda Depan,” sambung tulisan itu. Posting-an itu mendapat ribuan respons dan dikomentari ratusan warganet lainnya. Dayantri mengaku akan terus bertahan merawat para pasien Covid-19 dengan sepenuh hati. Dasar kemanusiaan dan panggilan jiwa membuatnya ingin terus berada di tempat itu hingga wabah yang melanda negeri ini berlalu. ”Awalnya aku lihat dari berita di media, Covid-19 makin banyak yang berstatus PDP dan ODP, sementara tenaga kesehatan kurang. Apalagi di Wisma Atlet, kan RS darurat, ngelihatnya jadi pengin bergabung saja. Bagaimana ya aku nggak bisa jelasin perasaan aku saat itu, seperti lebih ke panggilan jiwa,” kata Dayantri. Dayantri mengaku sengaja membuat posting-an di grup Facebook karena kangen kampung halamannya. Meski menurutnya hanya kota kecil, 15 hari di Wisma Atlet membuat ia sesekali merindukan keluarga dan Palabuhanratu. ”Kemarin share di MyPalabuhanratu itu karena kangen, walaupun kota kecil kangen sama keluarga. Di sini saja banyak dari teman sesama perawat yang menangis ditelepon sama keluarganya. Tapi di tempat ini kami sama-sama berkomitmen dengan tugas. Saya prinsip panggilan jiwa di sini tuh saya harus lanjut, kalau bisa sampai selesai, sampai titik darah penghabisan, sampai badan ini merasa nggak kuat,” ucapnya. Dayantri menilai jika seorang perawat pergi siapa yang akan memberikan semangat kepada pasien yang saat ini mendapat perawatan. Mereka diwajibkan selalu tersenyum demi memberi semangat pasien. ”Di tempat ini saya merasakan kalau kita pergi, kita enggak ada, siapa yang memberikan semangat ke pasien, mereka sendiri tidak ada keluarganya? Sementara walaupun mereka pegang ponsel menyemangati langsung dengan telepon kan beda. Disini kita benar-benar menyentuh, membuat mereka tenang, kita kasih semangat menjaga imunitas mereka tidak drop. Kita juga merasakan bagaimana kangen, pengen pulang tapi mereka disini juga membutuhkan kami,” jelasnya. Dayantri bertugas di Lantai VI, ia berhubungan langsung dengan pasien berstatus ODP dan PDP. Protokol kesehatan yang ia jalani juga sangat ketat, mulai dari pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) hingga terpaksa menahan lapar dan haus saat bertugas. Ia jalani itu semua dengan ikhlas, menjalani tugas pengabdiannya sebagai seorang perawat. (dtk/ rez/run)