METROPOLITAN.ID - Kasus pemerasan Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta menguak fakta baru. Uang hasil dari indikasi suap mengalir hanya di antara teman seangkatan terdakwa Vincentius Istiko Murtiadji saat kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Fakta tersebut terungkap dari kesaksian pegawai Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta, Muhyidin dan Arief Andrian saat Kesaksian mereka didengarkan pada persidangan ketiga Senin, 18 April 2022 kasus dugaan pemerasan Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta, dengan dua terdakwa yakni Vincentius Istiko Murtiadji (VIM) dan Qurnia Ahmad Bukhari (QAB). Pada saat menyampaikan kesaksiannya, Muhyidin yang menjabat Kasi Pabean 1 PFPC 1 mengakui ikut menerima uang Rp20 juta sebagai “uang bensin” yang diberikan terdakwa VIM yang menjabat Kasie Fasilitas PFPC 1. "Untuk uang bensin," ujar Muhyidin saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Serang, Banten, Senin (18/4). Istilah "uang bensin" tersebut didapat dari setoran PT Sinergi Karya Kharisma (SKK) pada kasus indikasi suap perusahaan jasa titipan tersebut. Kasus tersebut mencuat setelah terdakwa VIM mengakui menerima Rp 3,5 miliar pada 2020-2021 dari PT Sinergi Karya Kharisma (SKK) soal permintaan uang Rp1.000 dari setiap importasi barang di Bandara Soetta. Majelis hakim langsung mengkonfirmasi mengapa pemberian uang bensin bisa sebesar Rp20 juta. Saksi Muhyidin berkilah bahwa dia hanya menerima uang tersebut dari terdakwa VIM tanpa rasa penasaran uang itu diberikan sebagai apa. Yang dia tahu hanya sebagai uang pemberian untuk beli bensin. Namun belakangan, saat kasus pemerasan ini mencuat, Muhyidin mengembalikan "uang bensin" Rp20 juta tersebut. Selain Muhyidin, Arief Andrian juga mengakui menerima uang bensin Rp20 juta. Bahkan Arief Andrian mengakui menerima uang dari rekannya bernama Husni Mawardi sampai sebesar Rp150 juta yang diserahkan sebanyak lima kali. Husni Mawardi sendiri adalah Kasi Pabean PFPC 2 yang juga teman seangkatan dengan terdakwa VIM namun bukan sebagai anak buah langsung dari QAB. Pemberian "uang bensin" ini hanya beredar di kalangan teman-teman VIM seangkatan saat kuliah di STAN. Saksi Arief di persidangan mengakui menerima uang tersebut dari teman seangkatan sewaktu kuliah di Prodip Bea Cukai STAN. Bayu Prasetio, selaku penasihat hukum terdakwa QAB, mempertanyakan mengapa kliennya ikut dijerat kasus ini, padahal tidak ikut menerima "uang bensin" tersebut. QAB yang menjabat Kabid PFPC 1 ikut didakwa karena dituduh menerima aliran dana dari PT SKK. Padahal hingga tiga kali bergulir sidang kasus ini belum terbukti adanya QAB ikut menerima dana tersebut. "Klien kami adalah junior dari terdakwa VIM dan para saksi yang menerima uang bensin tersebut," ujar Bayu. Meski junior, QAB adalah atasan mereka di Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta. "Pada saat persidangan, berdasarkan keterangan saksi dari team IBI Rudy Hartono, saat diperiksa terdakwa VIM menyatakan menerima uang dari PT SKK dan baru akan memberikannya kepada QAB setelah QAB nanti keluar atau mutasi dari jabatannya di Bea Cukai Soekarno-Hatta," ujar Bayu. Hingga QAB keluar dan dimutasi ke Palangka Raya, uang tersebut nyatanya tidak sama sekali diterima oleh QAB, yang memang tidak tahu dan tidak terkait tentang adanya penerimaan uang oleh VIM dari PT. SKK. (tob/suf)