METROPOLITAN.id - Rencana pemerintah menghapus tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah pada 2023 terus menuai polemik. Termasuk di Kota Bogor. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo mengatakan, jadi nantinya yang bekerja di instansi pemerintah adalah pegawai berstatus ASN dan PPPK saja. Hak itu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada pasal 96, yakni melarang mengangkat tenaga non-PNS atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. "Instansi pemerintah juga diberikan kesempatan dan batas waktu hingga tahun 2023 untuk menyelesaikan permasalahan tenaga honorer yang diatur melalui PP," katanya, belum lama ini. Kebijakan ini berpotensi membuat ribuan pegawai honorer di Kota Bogor kehilangan pekerjaan. Apalagi, tenaga honorer non ASN yang bekerja di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor jumlahnya mencapai 6.997 orang. Dari data yang diterima Metropolitan, jumlah itu terdiri dari 3.943 tenaga honorer, 114 TKK/K1, 219 pegawai TKH/eks K2, 2.135 pegawai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), 580 tenaga outsourcing dan 6 pegawai THL Kementerian Pertanian (Kementan). Dari jumlah itu, ada tiga instansi yang tercatat punya tenaga honorer paling banyak. Yakni Dinas Pendidikan (Disdik) sebagai 1.994 orang, lalu Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sebanyak 1.381 orang dan RSUD Kota Bogor sebanyak 1.071 orang. Pemkot Bogor tengah melayangkan surat ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), untuk menanyakan rencana penghapusan honorer tersebut. "Kami sudah melayangkan surat ke Kemenpan-RB untuk berkonsultasi tentang penghapusan (honorer)," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Syarifah Sopiah, Rabu (8/6). Syarifah juga menjelaskan, jika kebijakan penghapusan tenaga honorer sudah berjalan, maka tak hanya 3.943 pegawai yang nasibnya berada diujung tanduk. Namun ada 6.997 pegawai non aparatur sipil negara (ASN) yang juga terancam tak memiliki pekerjaan pada tahun depan. Kedepannya, kata dia, akan ada sanksi atau temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) jika ada daerah yang tetap mempekerjakan honorer di lingkup pemerintahan. "Mulai tanggal 28 November 2023 kepala daerah yang menganggarkan gaji non PNS atau PKWT akan dikenakan sanksi dan menjadi temuan BPK," ujar mantan Kepala Bappedalitbang Kabupaten Bogor itu. Syarifah mengaku khawatir dengan adanya kebijakan tersebut karena nantinya akan mengganggu keberlangsungan pelayanan di Kota Bogor. "Kalau non PNS dilarang, maka akan banyak pelayanan publik di dinas yang terganggu. Karena sebagian besar petugas dinas adalah PKWT atau non PNS seperti petugas Damkar, Dishub, dan Satpol PP," ketusnya. Di sisi lain, kuota CPNS dan PPPK dari pemerintah pusat untuk Kota Bogor setiap tahunnya sangat terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan. "Pemkot juga sedang melakukan pemetaan dan pendataan SDM non-PNS yang mendapatkan honor melalui APBD," ucapnya. Kekhawatiran yang dirasakan Syarifah dengan pemerintah daerah di seluruh Indonesia sangat beralasan. Meskipun ada skema outsourching menjadi opsi untuk menyelesaikan persoalan tersebut. "Semua daerah menunggu arahan dari KemenpanRB karena jumlah yang dibolehkan (outsourching,red) jauh lebih sedikit dari jumlah tenaga honorer yang ada. Pun kalau diarahkan untuk CPNS atau PPPK pasti jumlahnya sangat terbatas," jelasnya. Terpisah, Kepala Bidang Formasi Data dan Kepegawaian Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Bogor, Aries Hendardi menjelaskan bahwa pihaknya masih merumuskan secara rinci aturan tersebut, termasuk melihat kondisi di daerah lain. Sehingga, pihaknya belum bisa menjelaskan secara rinci terkait kebijakan penghapusan tenaga honorer. "Sedang dirumuskan, dan sambil melihat daerah lain, karena perlu kehati-hatian," tukasnya. (ryn)