METROPOLITAN.id - Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Syarifah Sofiah angkat suara terkait rencana pengurangan anggaran Non ASN sebesar 25 persen pada Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) untuk APBD Tahun 2023, yang dinilai dapat menyebabkan pelayanan terhadap masyarakat di tingkat wilayah lumpuh secara total. Menurut Sekda, sebenarnya tidak apa-apa jika Kelurahan dan Kecamatan merasa tidak bisa mengurangi pegawai Non ASN sebesar 25 persen pada APBD 2023. Karena, pihaknya pun telah meminta setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk membuat kajian dari keputusan pengurangan anggaran Non ASN sebesar 25 persen itu. Sebab, mereka sendiri yang dapat mengkaji beban tugasnya dan kira-kira pegawai Non ASN mana yang memang bisa digantikan pekerjaannya oleh yang lain. "Iya itu udah disampaikan ke kita atau TAPD dalam bentuk surat, ya kita juga tidak memaksa. Misalkan di beberapa OPD atau kecamatan/kelurahan ada yang tidak bisa 25 persen, ya gak apa-apa," kata Syarifah Sofiah kepada wartawan baru-baru ini. Akan tetapi, dijelaskan Sekda, rencana pengurangan anggaran Non ASN sebesar 25 persen ini merupakan langkah yang diambil Pemkot Bogor, apabila tidak ada perubahan dari Pemerintah Pusat terkait kebijakan penghapusan tenaga honorer di tahun 2023 nanti. "Pokoknya intinya kita harus sudah mulai, karena nanti kan sekaligus kalau tidak ada perubahan dari Pemerintah Pusat, sekaligus itu dihilangkan (pegawai honorernya) dan kalau tidak dihilangkan itu akan menjadi temuan BPK," ucap Sekda. "(Tentu) berdampak kembali kepada pemerintah, jadi mau tidak mau, suka tidak suka kalau tidak ada perubahan dari Pusat sambil kita wait and see, makanya (untuk) di APBD 2023 ini kita cobalah efesiensikan dari yang ada sekarang," sambungnya. Disisi lain, Sekda menuturkan, bahwa sebenarnya persoalan ini bukan hanya dirasakan Pemkot Bogor semata, melainkan terjadi di semua daerah. Bahkan, penyikapan yang dilakukan terkait kebijakan penghapusan tenaga honorer pada tahun 2023 ini pun diambil secara berbeda-beda. "Ada yang saklek (langsung mengurangi semua pegawai honorernya) atau mereka mengukurnya berdasarkan beban kerja, tapi kalau kita transisilah mencoba dulu," imbuh Sekda. "Jadi kita masih wait and see karena kan masih diperjuangkan oleh APEKSI dan yang lain seperti apa sih sebenarnya teknisnya, karena semua daerah kan banyak Non ASN-nya," tandasnya. Sebelumnya, dibalik usulan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor yang bakal mengurangi anggaran Non ASN sebesar 25 persen pada Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) untuk APBD Tahun 2023 memunculkan fakta mengejutkan. Rencana ini disebut dapat menyebabkan pelayanan terhadap masyarakat di tingkat wilayah lumpuh secara total. Hal itu seperti diungkapkan Kabag Tata Pemerintahan pada Setda Kota Bogor, Marse Hendra Saputra. Dicontohkan Marse, untuk saat ini jumlah pegawai yang ada di Kelurahan se-Kota Bogor kebanyakan diisi oleh pegawai Non ASN. Di mana, pegawai yang berstatus PNS hanya berada di tataran Lurah, Sekretaris Lurah dan Kasi. Sementara, apabila kebijakan pengurangan anggaran Non ASN 25 persen tetap dilakukan, maka akan terjadi persoalan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat. "Kita punya peta jabatan. Contoh saja di kelurahan. Itu Lurah, Seklur dan Kasi PNS semua. Tapi tidak ada stafnya yang PNS, Non ASN inilah yang kita perbantukan untuk membantu masing-masing PNS-nya," kata Marse kepada wartawan, Rabu (31/8). "Sekarang, kalau Non ASN ini dihilangkan, siapa yang mau bekerja? Dan itu yang saya sampaikan ke Bu Sekda. Ketika di rapat terakhir pun ini yang kami sampaikan," sambungnya. Kemudian, dilanjutkan Marse, bukan hanya dari segi pelayanan terhadap masyarakat di kantor saja yang akan terdampak. Seperti, jika terjadi musibah bencana alam di wilayah, apakah pelayanan ini mampu hanya dikerjakan oleh sekitar lima orang PNS. Ditambah, kegiatan pembagian bantuan-bantuan sosial lainnya. "Kalau di wilayah itu sudah pegawainnya segitu-gitu saja, kerjaannya banyak, makanya Non ASN ini tetap kita butuhkan. Kalau ini kemudian dihilangkan lalu siapa yang mau bekerja, itu pertanyaan saya," ucap dia. "Kalau kebijakan kedepannya seperti apa untuk di Kecamatan dan Kelurahan saya juga belum tau, karena bukan ranah kami yang mengatur itu. (Yang pasti) kita sudah menghitung ada 364 pegawai Non ASN yang ada di Kecamatan dam Kelurahan se-Kota Bogor. Dan seharusnya saat ini BKPSDM sudah melakukan pemetaan," lanjutnya. Disinggung apakah ada solusi lain yang dimiliki dirinya untuk menyelesaikan persoalan ini, diakui Marse, ada beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan apabila kebijakan penghapusan tenaga honorer ini tetap diberlakukan. Yakni, Pemkot Bogor mendistribusikan PNS-PNS menjadi staf di Kelurahan dan Kecamatan. Lalu, melakukan pengalihan dari pegawai Non ASN menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Terakhir, apabila memungkinkan mereka dimasukan ke outsourcing, masukan mereka sesuai dengan tugas dan fungsinya. "Kalau saya sih pada prinsipnya, kalau ini siap tidak ada masalah, baik ke P3K, outsourcing atau distribusi PNS. Tapi yang pasti saat ini kami sangat membutuhkan aparatur," tandas Marse. Diketahui, kebijakan pemerintah menghapus tenaga honorer tahun depan memicu polemik. Kebijakan ini berpotensi membuat ribuan pegawai honorer di Kota Bogor kehilangan pekerjaan. Dari data Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, data non ASN di Kota Bogor memiliki jumlah pegawai 6.997 pegawai. Rinciannya, tenaga honorer 3.943 pegawai, TKK/K1 114 pegawai, TKH/eks K2 219 pegawai, PKWT 2.135 pegawai. Kemudian, outsourching 580 pegawai, dan terakhir THL Kementan sebanyak 6 pegawai. Berdasarkan data tersebut, tercatat tiga intansi yang paling banyak memiliki tenaga honorer yakni RSUD Kota Bogor sebanyak 1.071, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) 1.381 pegawai dan Dinas Pendidikan 1.994 pegawai. (rez)