METROPOLITAN.id - Intensitas hujan di Kabupaten Bogor beberapa hari terakhir cukup tinggi, bahkan beberapa wilayah disekitar Kabupaten Bogor dikepung bencana seperti longsor, banjir, pohon tumbang dan beberapa yang lainnya. Mengantisipasi hal tersebut terjadi di Kabupaten Bogor Plt Bupati Bogor Iwan Setiawan meminta masyarakatnya waspada saat terjadinya hujan deras. Terlebih Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jika Kabupaten Bogor memiliki frekuensi bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor tertinggi di Indonesia. "Karena alam bogor ini mungkin dari curah hujan, angin dan penduduk banyak serta kontur tanah berbeda. Seperti di bogor barat ini kontur tanahnya hasil kajian secara geologis rentan terhadap longsor," kata Iwan. Dengan kondisi alam tersebut, Iwan mengaku pihaknya tidak bisa berbuat banyak hanya bisa melakukan mitigasi bencana. Apalagi intensitas hujan di Bogor berbeda dengan wilayah lainnya. Iwan mengaku pihaknya telah melakukan mitigasi bencana salah satunya dengan mensiagakan sejumlah realawan seperti desa tangguh bencana dan beberapa yang lainnya. Sebelumnya, BNPB mencatat jika Kabupaten Bogor memiliki frekuensi bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor tertinggi di Indonesia. Bahkan pada 2021 bencana hidrometeorologi memang mendominasi kawasan Jabodetabek. "Kabupaten Bogor ini adalah dengan frekuensi kejadian bencana hidrometeorologi paling tinggi di Indonesia, tidak hanya di Jabodetabek," kata Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari. Sementara itu, secara historis banjir Jabodetabek per kabupaten/kota dalam kurun waktu 2021-2022, Kabupaten Bogor tercatat sebanyak 181 kejadian, dibandingkan Jakarta Timur sebanyak 75 kejadian, dan Jakarta Selatan 57 kejadian. Abdul mengatakan frekuensi kejadian banjir di Kabupaten Bogor dikatakan luar biasa, lebih dari dua kali lipat dari kabupaten/kota lainnya. "Ini menjadi perhatian kita untuk melihat kembali bagaimana bentang lahan kita saat ini, karena pastinya kalau kita berbicara hidrometeorologi basah tidak lepas dari daya dukung, daya tampung lingkungan," ujar Abdul. Selain itu, secara historis korban jiwa akibat bencana hidrometeorologi basah di Jabodetabek tercatat paling tinggi di tahun 2020, yakni sebanyak 65 jiwa. (mam)