METROPOLITAN - Dunia pendidikan lagi-lagi dibuat heboh. Kali ini, soal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang mengandung unsur SARA menjadi penyebabnya karena viral di berbagai media sosial. Kondisi itu mencerminkan kurangnya kontrol instansi terkait dalam penerbitan soal-soal ujian.
“Sebetulnya ini lebih ke soal pengawasan. Kalau memang teliti tidak mungkin soal-soal seperti itu bisa lolos dan diujikan. Ini makin aneh juga,” kata Sekretaris Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor Egi Gunadhi Wibawa kepada Metropolitan, kemarin.
Untuk di Kabupaten Bogor, Eghi mengaku belum ada laporan terkait soal bermuatan SARA seperti yang sedang ramai. Dirinya berharap hal itu tidak terulang kembali karena kasus soal-soal bermasalah sering terjadi sebelumnya.
“Kalau di Bogor sih belum ada sepertinya, tapi di sejumlah daerah kan sudah beberapa kali. Harusnya ini menjadi evaluasi dalam hal pengawasan pembuatan soal hingga penerbitannya,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang viral di media sosial adalah soal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang diujikan pada Selasa 21 Maret 2017;
Sekelompok Islam garis keras melakukan sweeping ke aula gereja di Kota Bogor, didapati sekelompok umat Nasrani sedang melakukan kegiatan Natal. Hal yang dilakukan sekelompok Islam garis keras itu termasuk pelanggaran pada UUD 1945 pasal...
- 28 E ayat 1
- 30 ayat 1
- 29 B
- 31 A
- 27
Hingga saat ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih menyelidiki kabupaten/kota mana yang menjadi tempat beredarnya soal USBN itu. Soal USBN sendiri dibuat Tim Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) kabupaten/kota di wilayah masing-masing. Informasi awal, soal kontroversial itu beredar di kabupaten/kota di Jawa Timur. Sesuai aturan, ujian sekolah tidak boleh menyinggung SARA, pornografi, politik dan merek produk.
Menanggapi hal itu, salah seorang kepala sekolah di Kabupaten Bogor Jajat Hidayat merasa kaget dan prihatin. Dirinya pun baru mengetahui hal itu ketika membaca berita di media. Meski demikian, lelaki lulusan UIN Jakarta ini mengaku belum menemukan soal tersebut di Kabupaten Bogor.
“Saya juga nggak tahu soal itu terbit di daerah mana. Yang pasti, melihat ujian beberapa hari ini, saya belum menemukannya untuk yang Kabupaten Bogor,” terang Jajat.
Meski demikian, Jajat berharap para pembuat soal benar-benar dibekali pemahaman aturan pembuatan soal. Sehingga, masalah seperti ini tidak terulang di kemudian hari.
“Isu SARA ini kan sensitif, bisa berbahaya akibatnya. Makanya pembuat soal harus paham dan fungsi pengawasan sebelum diterbitkan lebih teliti lagi,” tandasnya.
(fin/b/feb/dit)