Senin, 22 Desember 2025

4 Bulan Digaji Pakai Janji

- Rabu, 26 April 2017 | 09:02 WIB

SIANG itu, suasana tegang terjadi di depan Balai Kota. Ribut-ribut soal nasib karyawan bus TransPakuan yang tidak digaji akhirnya pecah di Jalan Ir Djuanda. Sopir TransPakuan yang menggeruduk kantor wali kota kecewa lantaran selama empat bulan ini hanya digaji dengan janji. Sampai-sampai adu mulut pun tak terhindarkan. Seorang lelaki berpakaian kemeja putih bersitegang dengan bos Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) Krisna Kuncahyo.

LEBIH dari lima jam, se­jumlah karyawan PDJT ber­kumpul di pedestrian depan Balai Kota Bogor. Mereka menanti keputusan Wali Kota Bogor Bima Arya tentang nasib karyawan TransPakuan yang sudah empat bulan ini digantung.

Tetapi bukannya senang, raut wajah kesal justru ter­pancar dari wajah karyawan yang sudah menunggu lama. Sejak pukul 10:00 hingga pukul 15:30 WIB, perwakilan karyawan PDJT yang semula diundang ikut audiensi justru ditelantarkan di luar ruang Balai Kota. Sementara perte­muan siang itu hanya diwakili pimpinan PDJT Krisna Kunca­hyo seorang diri.

“Sampai pertemuannya selesai kami hanya di luar, ti­dak diajak bertemu pak Wali. Malah waktu pimpinan tiba-tiba keluar dari ruang rapat, dia bilang sudah ada kesim­pulan dari pertemuaannya, jadi tidak perlu masuk dan kami diminta pulang,” ung­kap Kabag Satuan Pengawas Internal (Kabag SPI) PDJT Tri Handoyo.

Mendengar jawaban itu, Tri yang jadi komando per­wakilan karyawan merasa tidak dihargai. Hingga cek­cok dengan pimpinannya pun terjadi di ruang publik siang bolong. Dengan nada geram, ia merasa dirutnya tidak memperjuangkan nasib karyawan sendiri. “Orang ga­gal tapi nggak mau ngaku,” cetus Tri dengan nada me­ledek ke arah pimpinannya sendiri.

Terpancing dengan ucapan anak buahnya, bos PDJT Kris­na Kuncahyo pun menjawab dengan nada keras per­nyataan Tri soal kegagalan­nya memimpin perusahaan. Bahkan, Krisna menyinggung soal tidak terpilihnya Tri saat mencalonkan diri jadi direksi. “Anda dulu juga ngajukan diri jadi direksi tapi nggak terpilih juga. Ya sudah dong,” ketus Krisna ke arah Tri.

Adu mulut keduanya pun tak terelakkan hingga sua­sana memanas. Beruntung ada yang melerainya. Na­mun, lagi-lagi suara kekece­waan karyawan PDJT masih terdengar di tengah suasana tegang. “Harusnya bapak punya prinsip dong, jangan mengorbankan orang ban­yak. Bapak kan pemimpin,” cetus anak buahnya yang jadi sopir bus TransPakuan.

Saat dikonfirmasi, Tri terang-terangan mengaku kecewa terhadap pimpinan PDJT. “Kami bekerja di PDJT, ya kita minta gaji ke pimpi­nan kita, bukan ke wali kota. Jadi seharusnya pimpinan kami bicarakan ini secara internal dulu, tapi ini kami karyawan yang ingin ikut bertemu dengan wali kota saja malah disuruh pulang,” kata dia.

Apalagi sesuai surat edaran mengenai audiensi PDJT dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, lanjut dia, seharunya yang bertemu wali kota tak cuma dirut tapi ada unsur karyawan. Sayang, ia men­cium adanya indikasi dari pimpinan untuk mengha­lang-halangi karyawan ber­temu Bima Arya.

“Surat tersebut sudah ada di tangan saya dari kemarin. Di dalamnya tertulis ada sepuluh orang yang boleh datang mengikuti audiensi bersama wali kota. Tetapi kita justru tidak dilibatkan,” kata dia.

Menjawab itu, Krisna tak berkomentar banyak. Ia beralasan bahwa dirinya sudah mewakili seluruh kary­awannya. “Saya kan sudah mewakili PDJT di rapat itu,” ujar dia.

Informasi yang dihimpun, ada 152 orang yang tercatat sebagai karyawan PDJT. Mer­eka terdiri dari sopir bus, kondektur, petu¬gas tiketing dan manajemen. Sedangkan aset yang dimiliki hanya 30 unit bus dengan satu bus dalam kondisi rusak. Selama empat bulan ini sopir bus ter­paksa tidak beroperasi lan­taran perusahaan bangkrut.

Rudi Hartono (37), salah seorang sopir bus TransPak­uan terpaksa banting stir menjadi seorang juru parkir. Selama ini ia merasa digan­tung pemkot dengan gaji yang tak kunjung dicairkan. Hanya janji manis yang di­beri. “Insya Allah akan segera dibayar, katanya begitu. Tapi nyatanya belum ada kejela­san lagi,” sesalnya.

Padahal, beban hidupnya begitu tinggi untuk meng­hidupi dua anak dan istrinya. “Saya paling ngutang ke warung. Kalau dapat uang juga sebagian untuk anak, sebagian lagi untuk bayar utang,” ungkapnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X