BEGITU banyak kelompok dalam Islam. Non-Islam sering tidak tahu. Lalu mengira sama. Bahaya semua. HTI, FPI, JT, NU, NW, MU, SI… Dan masih banyak lagi. Kalau semua ditulis, satu halaman koran pun tidak cukup.
Beberapa tahun lalu saya terbang dari Manado ke Luwuk. Dengan pesawat isi 18 orang. Pilotnya pakai sorban putih. Orang langsung tahu: dia orang Islam. Dengan konotasi tertentu.
Hari itu hampir semua penumpang orang kulit putih. Rombongan turis. Dari wajah mereka, saya menduga turis Italia. Begitu duduk, saya menangkap ekspresi aneh. Mereka mengarahberpandangan. Tidak ada kata yang mereka ucapkan. Tapi, ekspresi wajah merkan mata ke pilot. Lalu saling eka penuh tanda tanya. Juga penuh kekhawatiran.
Begitu cemas mereka, saya pun tergerak ingin menenangkan perasaan mereka. Benar. Mereka turis dari Italia. Saya ucapkanlah satu dua kata dalam bahasa mereka. Perhatian mereka pun beralih dari pilot ke saya. Saatnya saya action. ’’Pilot kita hari ini istimewa,’’ kata saya dalam bahasa Inggris. Bahasa Italia saya sudah tidak cukup untuk kalimat panjang.
Mereka terperangah. ’’Dia itu orang Islam dari kelompok yang disebut Jamaah Tablig. Mereka ini anti kekerasan,’’ ujar saya.
Kelompok ini, kata saya, sangat damai. Tidak mau mengganggu orang. Aktivitas mereka berkelana menyebarkan agama. Dengan prinsip jangan mengganggu orang. Ke mana-mana mereka bawa kompor sendiri. Untuk masak. Agar tidak merepotkan siapapun. Tidak pernah mengafirkan orang lain. Tidak pernah menyakiti. Apalagi membunuh.
Lalu, saya berteriak ke arah pilot. Tempat duduk saya memang agak jauh di belakang. ’’Mr Pilot, benar kan Anda dari kelompok Jamaah Tablig?’’ tanya saya dalam bahasa Inggris. Lalu, sang pilot menerangkan bahwa apa yang saya jelaskan tadi benar semua.
Turis itu kelihatan lega dan puas. Banyak yang manggut-manggut. Mengekspresikan perasaan ’’oh, begitu ya’’. Atau ’’kita bisa terbang dengan aman’’. Atau sejenisnya.
Ternyata, penerbangan itu tidak sepenuhnya aman. Ketika melintas di atas laut Teluk Tomini, terbangnya agak miring. Cuaca terang. Langit bersih. Setelah terbang satu jam, saya mulai bertanya dalam hati. Ada apa ini? Kok belum tiba di Luwuk? Mestinya kan hanya 55 menit.
Tapi, pilotnya terlihat tenang saja. Setengah jam kemudian barulah bisa mendarat. Turis Italia bertepuk tangan. Mengiringi roda pesawat yang menyentuh landasan. Sebelum turun, mereka memberi tabik. Respek kepada pilot. Saya turun terakhir. ’’Kok terbangnya 1,5 jam, Cap?’’ tanya saya berbisik. ’’Maafkan, satu mesinnya mati,’’ jawabnya.
Kami pun saling tukar nomor telepon. Huh! Kata saya dalam hati. Coba sampai terjadi masalah. Bisa-bisa akan dihubungkan dengan identitas pilotnya yang Jamaah Tablig.
Mari pindah ke HTI yang akan dibubarkan pemerintah. Saya juga kenal banyak anggota kelompok Hizbut Tahrir.
Anggota kelompok ini umumnya muda, terpelajar, berpakaian rapi, necis, banyak yang pakai dasi dan menggunakan bendera bertulisan Arab. Bunyinya, Lailahaillallah Muhammadarrasulullah. Artinya: Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah.
Tulisan Arab di bendera itu bukan kalimat protes. Bukan kalimat marah. Bukan kalimat kebencian. Bukan pula kalimat mengajak berontak. Barangkali perlu dipikirkan untuk menyertakan terjemahan di bendera itu. Agar dimengerti. Oleh yang non-Islam. Tidak dikira ajakan makar. Dan bisa terasa lebih Indonesia. Toh, singkatan HTI itu, I-nya berarti Indonesia. Kalau singkatannya hanya HT, bisa dikira Hary Tanoe.