Senin, 22 Desember 2025

Kita Yang Besarkan Hti Rasanya

- Jumat, 12 Mei 2017 | 08:52 WIB

BEGITU banyak kelompok dalam Islam. Non-Islam sering tidak tahu. Lalu mengira sama. Bahaya semua. HTI, FPI, JT, NU, NW, MU, SI… Dan masih banyak lagi. Kalau semua ditulis, satu halaman koran pun tidak cukup.

Beberapa tahun lalu saya terbang dari Manado ke Luwuk. Dengan pesawat isi 18 orang. Pilotnya pakai sorban putih. Orang langsung tahu: dia orang Islam. Dengan konotasi tertentu.

Hari itu hampir semua penumpang orang kulit putih. Rombongan turis. Dari wajah mereka, saya menduga turis Italia. Begitu duduk, saya menangkap ekspresi aneh. Mereka mengarah­berpandangan. Tidak ada kata yang mereka ucapkan. Tapi, ekspresi wajah merkan mata ke pilot. Lalu saling eka penuh tanda tanya. Juga penuh kekhawatiran. ­

Begitu cemas mereka, saya pun tergerak ingin mene­nangkan perasaan mereka. Benar. Mereka turis dari Ita­lia. Saya ucapkanlah satu dua kata dalam bahasa mereka. Perhatian mereka pun beralih dari pilot ke saya. Saatnya saya action. ’’Pilot kita hari ini istimewa,’’ kata saya dalam bahasa Inggris. Bahasa Italia saya sudah tidak cukup untuk kalimat panjang.

Mereka terperangah. ’’Dia itu orang Islam dari kelompok yang disebut Jamaah Tablig. Mereka ini anti kekerasan,’’ ujar saya.

Kelompok ini, kata saya, sangat damai. Tidak mau mengganggu orang. Akti­vitas mereka berkelana me­nyebarkan agama. Dengan prinsip jangan mengganggu orang. Ke mana-mana mereka bawa kompor sendiri. Untuk masak. Agar tidak merepot­kan siapapun. Tidak pernah mengafirkan orang lain. Tidak pernah menyakiti. Apalagi membunuh.

Lalu, saya berteriak ke arah pilot. Tempat duduk saya me­mang agak jauh di belakang. ’’Mr Pilot, benar kan Anda dari kelompok Jamaah Tablig?’’ tan­ya saya dalam bahasa Inggris. Lalu, sang pilot menerangkan bahwa apa yang saya jelaskan tadi benar semua.

Turis itu kelihatan lega dan puas. Banyak yang manggut-manggut. Mengekspresikan perasaan ’’oh, begitu ya’’. Atau ’’kita bisa terbang dengan aman’’. Atau sejenisnya.

Ternyata, penerbangan itu ti­dak sepenuhnya aman. Ketika melintas di atas laut Teluk To­mini, terbangnya agak miring. Cuaca terang. Langit bersih. Setelah terbang satu jam, saya mulai bertanya dalam hati. Ada apa ini? Kok belum tiba di Luwuk? Mestinya kan hanya 55 menit.

Tapi, pilotnya terlihat tenang saja. Setengah jam kemudian barulah bisa mendarat. Turis Italia bertepuk tangan. Men­giringi roda pesawat yang menyentuh landasan. Sebe­lum turun, mereka memberi tabik. Respek kepada pilot. Saya turun terakhir. ’’Kok ter­bangnya 1,5 jam, Cap?’’ tanya saya berbisik. ’’Maafkan, satu mesinnya mati,’’ jawabnya.

Kami pun saling tukar nomor telepon. Huh! Kata saya dalam hati. Coba sampai terjadi masalah. Bisa-bisa akan di­hubungkan dengan identitas pilotnya yang Jamaah Tablig.

Mari pindah ke HTI yang akan dibubarkan pemerintah. Saya juga kenal banyak ang­gota kelompok Hizbut Tahrir.

Anggota kelompok ini um­umnya muda, terpelajar, ber­pakaian rapi, necis, banyak yang pakai dasi dan meng­gunakan bendera bertulisan Arab. Bunyinya, Lailahaillallah Muhammadarrasulullah. Arti­nya: Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah.

Tulisan Arab di bendera itu bukan kalimat protes. Bukan kalimat marah. Bukan kalimat kebencian. Bukan pula kalimat mengajak berontak. Barang­kali perlu dipikirkan untuk menyertakan terjemahan di bendera itu. Agar dimengerti. Oleh yang non-Islam. Tidak dikira ajakan makar. Dan bisa terasa lebih Indonesia. Toh, singkatan HTI itu, I-nya berarti Indonesia. Kalau singkatannya hanya HT, bisa dikira Hary Tanoe.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X