Minggu, 21 Desember 2025

Alumni 212 Akui Capek Lakukan Aksi

- Sabtu, 10 Juni 2017 | 08:08 WIB

METROPOLITAN - Aksi Bela Ulama 96 tetap berlangsung di Masjid Istiqlal Jalan Taman Wijaya Kusuma, Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dalam aksi ini, Presidium Alumni 212 tetap menun­tut agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendesak kepolisian untuk menge­luarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas kasus yang dialami para ulama dan aktivis tersebut.

Keinginan ini dianggap sebagai bentuk penolakan kriminalisasi ulama. “Pres­iden tinggal memerintahkan ke Jaksa Agung atau Kapolri (untuk keluarkan) SP3 semuanya, selesai. Kita damai, kita bertemu, kita berpelukan, justru kita akan dukung pak Jokowi. Kalau memang benar kita dukung, kenapa nggak. Kita nggak mau bertarung, bertempur kayak gini, capek juga sebenarnya,” ungkap Ketua Presidium Alumni 212 Ansufri Idrus Sambo di Masjid Istiqlal, Jalan Taman Wijaya Kusuma, Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat.­

Ansufri mengatakan, demo-demo yang dilakukan selama ini sebagai perlawanan kepada Jokowi. Menurutnya, setelah Ahok kalah, aktivis dan ulama yang kerap ikut dalam demo kepada Ahok dikriminalisasi. Dia mengatakan, aksi-aksi yang dilakukan sekarang ditujukan untuk menyelamatkan ulama dari kriminalisasi tersebut.

“Karena kebetulan yang mengkriminalisasi ulama dari rezim pak Jokowi berarti kita anggap ini politik balas den­dam. Nah, makanya ini per­lawanannya kepada Jokowi,” kata Ansufri.

Ansufri menyebutkan be­berapa nama ulama dan akti­vis yang dibela dalam aksi ini. Dia menyebut ada sebanyak dua puluh ulama yang dibela, namun Ansufri tak menye­butkan semuanya. “Yang ada dua puluh itulah. Termasuk aktivis, seperti contohnya Habib Rizieq, Bachtiar Nasir walaupun sudah tersangka tapi belum ditahan. Ustadz Khathath sudah ditangkap tuduhan makar, sekarang Ustadz Alfian Tanjung, terus Ustadz Munarman,” ujarnya.

Sementara itu, adanya aksi ini turut menuai sindiran dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siraj. Ia menyinggung soal aksi massa yang melakukan salat Jumat di taman Monumen Nasional, 2 Desember 2016 tidak sah karena mengandung unsur kepentingan politik. Aksi yang digalang Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI ketika itu dilakukan karena Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belum ditahan usai ditetapkan menjadi tersangka.

“Dengarin, wallahi salat Ju­mat di Monas tidak sah, ke­napa? Niat ibadahnya nol. Ada yang niatnya menggantikan Pancasila Islam, ada yang ni­atnya gulingkan Jokowi, ada yang niatnya karena Ahok,” ujar Said di Auditorium PBNU, Jalan Kramat Raya, Senen, Ja­karta Pusat, Jumat (9/6).

Menurutnya, massa dari dae­rah ketika itu datang ke Jakarta niatnya bukan untuk salat.

“Jalan-jalan lihat Monas dibayar Rp300 ribu ya berang­katlah jamaah dari Indramayu. Tidak ada niat salatnya itu,” kata Said.

Said juga menyoroti pakaian muslim yang dipakai massa. Menurutnya mestinya baju untuk ibadah tidak dipakai un­tuk demonstrasi. “Gamis untuk demo contohnya. Pakai gamis ke Monas teriak Allahuakbar,” kata Said.

“Kami (NU) punya gagasan Islam yang Nusantara, Islam yang melestarikan budaya. Bahkan budaya kita jadikan infrastruktur agama,” Said menambahkan.

(de/feb/dit)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X