METROPOLITAN - Terdakwa korupsi pengadaan KTP elektronik, Andi Narogong, dituntut pidana penjara delapan tahun oleh jaksa penuntut umum.
Dalam sidang pembacaan tuntutan, penuntut umum berpendapat bahwa Andi Narogong terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum dalam korupsi pengadaan KTP-elektronik.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan tuntutan, Kamis (7/12/2017), penuntut umum menguraikan bahwa Andi Narogong memiliki kedekatan dengan beberapa tokoh. Salah satu tokoh itu adalah Setya Novanto yang kala itu menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR periode 2009-2014.
Jaksa Penuntut Umum KPK Wawan Yunarwanto dalam sidang pembacaan tuntutan juga menguraikan soal kedekatan Andi dengan Irman, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Di samping itu, dia juga dekat dengan Diah Anggraeni yang menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri.
Berbekal kedekatan itulah, kata jaksa, Andi Narogong menggunakan pengaruhnya untuk mengarahkan proses pengadaan KTP-el. Dialah yang kemudian membentuk tiga konsorsium yang akan mengikuti proses tender yakni konsorsium PNRI, Astragraphia serta Murakabi.
Sampai akhirnya terjadi pertemuan di sebuah hotel. “Terdakwa kemudian mengatur pertemuan di Hotel Gran Melia Jakarta yang dihadiri Irman, Sugiharto, Diah Anggraeni serta Setya Novanto yang kemudian mengatakan dia mendukung pembahasan anggaran di DPR,” kata penuntut umum.
Sebelumnya, dalam dakwaan jaksa, Andi Narogong disebut pada 2010 mengajak Irman untuk menemui Setya Novanto, Ketua Fraksi Golkar. Andi mengatakan, Setya merupakan kunci pembahasan anggaran di DPR.
“Terdakwa memperkenalkan Irman ke Setya Novanto serta menyampaikan mengenai proyek pengadaan KTP elektronik dan Setya Novanto mendukung rencana tersebut. Sebagai tindak lanjut, terdakwa mengajak Irman untuk bertemu Setya Novanto di ruang kerjanya lantai 12 Gedung DPR,” ujar penuntut umum.
Saat berjumpa dengan Setya Novanto, Andi menanyakan ‘Pak Nov, bagaimana ini anggarannya supaya Pak Irman tidak ragu siapkan langkah-langkah’ dan dijawab Setya Novanto, ‘Ini sedang kita koordinasikan’. Setelah pertemuan itu, saat hendak keluar ruangan, Setya Novanto mengatakan kepada Irman agar menghubungi Andi Agustinus selaku representasi dirinya.
Persinggungan Andi Agustinus dan Setya Novanto kembali terjadi dalam sebuah rapat di mana dia mewakili Setya Novanto bersua dengan Anas Urbaningrum dan Muhamad Nazarudin dari Partai Demokrat.
Dalam pertemuan itu, mereka menyepakati total anggaran proyek sebesar Rp5,9 triliun itu akan dipotong 11,5 persen pajak. Selanjutnya, 51 persen dari anggaran yang telah dipotong pajak tersebut atau sebesar 51 persen atau Rp2,6 triliun digunakan untuk belanja riil.
Setidaknya 49 persen dari sisa uang tersebut atau setara dengan Rp2,5 triliun akan dibagi ke sejumlah orang dengan perincian: 7 persen atau Rp365,4 miliar akan diberikan ke pejabat Kementerian Dalam Negeri, kemudian 2,5 persen atau Rp261 miliar diberikan kepada Komisi II DPR.
Selain itu, 11 persen atau Rp574,2 miliar akan disalurkan ke Setya Novanto dan Andi Narogong. Persentase serupa juga diberikan kepada Anas Urbaningrum dan Muhamad Nazarudin serta 15 persen atau Rp783 miliar akan diberikan kepada rekanan.
Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga disepakati pelaksana proyek tersebut adalah BUMN agar mudah diatur. Pada September-Oktober 2010, Andi Agustinus memberikan uang kepada sejumlah anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR sebesar US$2,8 juta dolar agar menyetujui pembahasan proyek pengadaan.