Pendamping Dadang Danubrata di pilwalkot Bogor itu sempat menanyakan langkah pasangan calon nomor urut satu mengenai Terminal Baranangsiang jika terpilih. Namun, STS menilai jawaban yang diberikan normatif dan cenderung tidak tepat. “Pasangan calon nomor satu menjawab normatif, sama dengan jawaban wali kota (Bima Arya, red) bahwa terminal tipe A diserahkan ke pemerintah,” kata STS.
Menurut STS, pernyataan tersebut tidak menjawab pertanyaannya, bahkan bisa dikatakan keliru. Poin pertanyaannya apakah Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor akan mengeksekusi perjanjian dengan PT Pancakarya Grahatama Indonesia (PGI) soal pembangunan terminal atau akan membatalkan perjanjian tersebut. “Pengelolaan terminal tipe A memang oleh pemerintah pusat, tapi pembangunannya oleh pemilik lahan yaitu Pemkot Bogor. Jadi sebelum diserahkan pengelolaannya, diputuskan dulu akan dibangun atau tidak karena sebelumnya susah dibuat perjanjian dengan PT PGI,” terangnya.
Artinya, sudah ada hukum berupa perjanjian kerja sama pembangunan terminal dengan PGI yang harus ditaati semua pihak, baik pemerintah pusat maupun Pemkot Bogor. Terkait sah atau tidaknya perjanjian tersebut, STS berpandangan ada beberapa hal yang harus dicermati. Pembangunan ini belum mendapat persetujuan dari DPRD karena mengikatkan aset dengan pihak ketiga harus mendapat persetujuan dari dewan. “Intinya yang paling dasar adalah persetujuan DPRD. Kalau keputusan pemkot mau membangun dan DPRD setuju, dibangun saja itu terminal. Kita nggak perlu ragu. Kalau sudah dibangun, pengelolaannya kita serahkan ke pemerintah pusat,” ungkapnya.
Selain itu, ada opsi kedua yaitu memutus perjanjian tersebut. Sebab, perjanjian bisa dinyatakan tidak memenuhi syarat karena tidak ada persetujuan DPRD. Namun sebelum melakukannya, pemkot harus meminta dukungan politik DPRD. “Kalau masyarakat mengatakan tidak mau dibangun oleh PGI, kita putus perjanjian itu walaupun risiko digugat ke pengadilan. Tapi jika didukung masyarakat, melalui DPRD, kan tidak ada kekhawatiran. Jadi yang mana yang mau dieksekusi? Ini baru tegas, tidak menggantung,” tuturnya.
Namun, Pemkot Bogor dianggap tidak memiliki komunikasi yang baik dengan legislatif. Hal ini terbukti ketika petahana mengatakan gagalnya pembangunan terminal lantaran tidak disetujui DPRD. Padahal, STS yakin DPRD akan menyetujui jika pembangunan terminal untuk kepentingan rakyat. “Seperti RSUD kan buat kepentingan rakyat, pasti disetujui karena sudah dianggarkan. Kan gagalnya gagal lelang bukan gagal penganggaran. Berarti dia salah,” sambung STS.
Selanjutnya, STS menyoroti soal bangkrutnya Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT). Selama ini, PDJT dikelola manajemen tetapi tidak ada dukungan politik yang kuat dari pemkot sehingga didiamkan begitu saja. “Jadi di sini adalah kegagalan kepemimpinan Bima Arya,” bebernya.
Terakhir, soal pengadaan lahan Pasar Jambu Dua. Pemkot sudah menertibkan pedagang MA Salmun dengan anggaran Rp5 miliar dan menggelontorkan Rp43 miliar untuk pengadaan lahan Pasar Jambu Dua. Tetapi pembangunan pasar mangkrak. “Pedagang tidak tertampung, uang dana penertiban pedagang sudah menguap. Uang Rp43 miliar tidak juga membawa hasil pembangunan pasar. Ini kegagalan nyata dari sisi administrasi pemerintahan, komunikasi politik dan juga kerugian keuangan negara yang disebut mencapai Rp23 miliar,” pungkas STS.
(fin/c/feb/run)