Minggu, 21 Desember 2025

Aksi Bejat Pelaku Gara-gara Salah Asuh

- Sabtu, 9 Juni 2018 | 11:19 WIB

-

Sidang kasus pembunuhan Grace Gabriela (5) ber­akhir sudah. RI (15) yang merasa hidup dalam kekangan kedua orang tuanya ini resmi dinya­takan bersalah karena aksinya menghi­langkan nyawa Grace. Akibat kesala­han pola asuh orang tuanya, masa remajanya harus diha­biskan dalam penjara khusus anak selama sepuluh tahun sesuai sidang vonis yang di­gelar di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Jumat (8/6).

RI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana oleh majelis hakim sebagaimana dinyatakan dalam pasal dakwaan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejaksaan Negeri Bogor.

Dalam putusan vonis di PN Cibinong, Hakim Ketua Tira Tirtona menyebutkan bahwa RI telah memaksa anak untuk ber­setubuh hingga melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian. “Karena itu, hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama sepu­luh tahun dan pelatihan kerja selama tiga bulan,” ujar Tira saat membacakan putusan.

Penjatuhan hukuman tersebut berdasarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa sekaligus surat bukti dan barang bukti, serta mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum. “Pada pokoknya menyatakan RI dinyatakan ter­bukti secara sah dan bersalah melakukan pembunuhan be­rencana dan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dan dalam keadaan tak berdaya, sesuai tuntutan JPU,” lanjut Tira.

Nantinya, RI akan ditempatkan di lapas khusus anak di wilayah Tangerang, Banten. Hal ini un­tuk menjamin hak-haknya. Ayah Grace, Jemi Bimusu, tak bisa berbuat banyak selain pas­rah. “Rasa sakit hati masih mem­bekas. Tapi ini negara hukum, kita selesaikan secara hukum. Terkait putusan hari ini, saya sangat puas karena sudah mak­simal,” kata Jemi.

Kuasa hukum keluarga korban, Tobyas Ndiwa, masih memper­timbangkan untuk menempuh jalur lain terkait vonis majelis hakim. Ia menilai vonisan ter­sebut dinilai sangat adil saat mendengarkan dakwaan ter­hadap pelaku.

“Bagi kita, vonis ini adil lah kalau dilihat dari perspektif UU Perlindungan Anak, mengingat pelaku masih di bawah umur. Tapi kita akan rembuk dengan tim terkait apakah ada upaya hukum lain menindaklanjuti vonis hakim ini,” kata Tobbyas.

Sementara di balik kasus pem­bunuhan ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) punya pandangan lain. Ke­tua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menyatakan kasus ini patut jadi pembelajaran bagi orang tua. Sebab, dari hasil obrolannya dengan pelaku, Arist menemu­kan adanya kesalahan dalam pola pengasuhan. ”Dari hasil percakapan dengan RI, itu bisa dilihat ada pola pengasuhan yang keliru dari orang tua pela­ku. Ini harus menjadi perhatian publik, jangan mengekang anak. Berikan ruang kepada anak un­tuk menyalurkan energinya,” ujar Arist.

Kasus ini dianggap Arist men­jadi tamparan bagi keluarga di Indonesia. Orang tua seharus­nya tidak memaksakan ke­hendaknya kepada anak-anak yang berujung pengekangan dan menutup akses anak untuk tumbuh dengan baik. ”Anak usia 0-5 tahun pendekatannya tentu beda dengan anak usia 6-11 tahun. Nah, RI ini kan usianya 15 tahun, termasuk usia remaja yang ada energi yang harus disalurkan. Tapi karena pola pengasuhannya salah, ditekan dan sebagainya, dia merasa tertekan,” lanjut Arist.

RI dianggap merasa tertekan dengan kondisi di rumah se­hingga mengambil tindakan berada di luar kesadarannya. Ia merasa energi dan psikisnya tertekan dan membutuhkan jalan keluar. Pola pengasuhan seperti ini harus dihindari. RI melakukan pelampiasan atas kemarahan yang ia pendam dengan membunuh Grace. Sa­lah satu bentuk pengekangan yang dirasa RI adalah dirinya tidak diperbolehkan main jauh dari rumah.

Padahal, Arist menilai anak usia remaja harus diberikan akses pergi ke mal atau jalan-jalan. Kondisi RI yang dikekang di rumah dan hanya diizinkan menonton televisi, membuatnya mendapat inspirasi dan khaya­lan yang berujung pada peru­bahan perilaku. Hal inilah yang terjadi pada RI. ”RI merasa me­nyesal, tetapi ada kelegaan juga karena dia merasa apa yang menyakitinya sudah terlampia­skan. Grace tidak dianggap se­bagai korban tetapi sosok yang mengekang. Meskipun kema­rahan RI ini untuk orang lain. Ini bentuk pelampiasan,” lanjut­nya.

Hal ini diamini Hakim Ben Ronald. Menurutnya, RI me­rasa bersalah dan takut usai melakukan tindakannya itu. RI mengaku melakukan tindakan tersebut seperti orang yang tidak sadar. ”Seperti ada bisikan ’ayo coba, ayo coba’,” kata Ben.

Atas tindakannya itu, RI di­kenakan Pasal 76 d jo Pasal 81 Ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 76 c jo Pasal 80 Ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang peru­bahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X