Sidang kasus pembunuhan Grace Gabriela (5) berakhir sudah. RI (15) yang merasa hidup dalam kekangan kedua orang tuanya ini resmi dinyatakan bersalah karena aksinya menghilangkan nyawa Grace. Akibat kesalahan pola asuh orang tuanya, masa remajanya harus dihabiskan dalam penjara khusus anak selama sepuluh tahun sesuai sidang vonis yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Jumat (8/6).
RI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana oleh majelis hakim sebagaimana dinyatakan dalam pasal dakwaan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejaksaan Negeri Bogor.
Dalam putusan vonis di PN Cibinong, Hakim Ketua Tira Tirtona menyebutkan bahwa RI telah memaksa anak untuk bersetubuh hingga melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian. “Karena itu, hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama sepuluh tahun dan pelatihan kerja selama tiga bulan,” ujar Tira saat membacakan putusan.
Penjatuhan hukuman tersebut berdasarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa sekaligus surat bukti dan barang bukti, serta mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum. “Pada pokoknya menyatakan RI dinyatakan terbukti secara sah dan bersalah melakukan pembunuhan berencana dan persetubuhan di luar ikatan perkawinan dan dalam keadaan tak berdaya, sesuai tuntutan JPU,” lanjut Tira.
Nantinya, RI akan ditempatkan di lapas khusus anak di wilayah Tangerang, Banten. Hal ini untuk menjamin hak-haknya. Ayah Grace, Jemi Bimusu, tak bisa berbuat banyak selain pasrah. “Rasa sakit hati masih membekas. Tapi ini negara hukum, kita selesaikan secara hukum. Terkait putusan hari ini, saya sangat puas karena sudah maksimal,” kata Jemi.
Kuasa hukum keluarga korban, Tobyas Ndiwa, masih mempertimbangkan untuk menempuh jalur lain terkait vonis majelis hakim. Ia menilai vonisan tersebut dinilai sangat adil saat mendengarkan dakwaan terhadap pelaku.
“Bagi kita, vonis ini adil lah kalau dilihat dari perspektif UU Perlindungan Anak, mengingat pelaku masih di bawah umur. Tapi kita akan rembuk dengan tim terkait apakah ada upaya hukum lain menindaklanjuti vonis hakim ini,” kata Tobbyas.
Sementara di balik kasus pembunuhan ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) punya pandangan lain. Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menyatakan kasus ini patut jadi pembelajaran bagi orang tua. Sebab, dari hasil obrolannya dengan pelaku, Arist menemukan adanya kesalahan dalam pola pengasuhan. ”Dari hasil percakapan dengan RI, itu bisa dilihat ada pola pengasuhan yang keliru dari orang tua pelaku. Ini harus menjadi perhatian publik, jangan mengekang anak. Berikan ruang kepada anak untuk menyalurkan energinya,” ujar Arist.
Kasus ini dianggap Arist menjadi tamparan bagi keluarga di Indonesia. Orang tua seharusnya tidak memaksakan kehendaknya kepada anak-anak yang berujung pengekangan dan menutup akses anak untuk tumbuh dengan baik. ”Anak usia 0-5 tahun pendekatannya tentu beda dengan anak usia 6-11 tahun. Nah, RI ini kan usianya 15 tahun, termasuk usia remaja yang ada energi yang harus disalurkan. Tapi karena pola pengasuhannya salah, ditekan dan sebagainya, dia merasa tertekan,” lanjut Arist.
RI dianggap merasa tertekan dengan kondisi di rumah sehingga mengambil tindakan berada di luar kesadarannya. Ia merasa energi dan psikisnya tertekan dan membutuhkan jalan keluar. Pola pengasuhan seperti ini harus dihindari. RI melakukan pelampiasan atas kemarahan yang ia pendam dengan membunuh Grace. Salah satu bentuk pengekangan yang dirasa RI adalah dirinya tidak diperbolehkan main jauh dari rumah.
Padahal, Arist menilai anak usia remaja harus diberikan akses pergi ke mal atau jalan-jalan. Kondisi RI yang dikekang di rumah dan hanya diizinkan menonton televisi, membuatnya mendapat inspirasi dan khayalan yang berujung pada perubahan perilaku. Hal inilah yang terjadi pada RI. ”RI merasa menyesal, tetapi ada kelegaan juga karena dia merasa apa yang menyakitinya sudah terlampiaskan. Grace tidak dianggap sebagai korban tetapi sosok yang mengekang. Meskipun kemarahan RI ini untuk orang lain. Ini bentuk pelampiasan,” lanjutnya.
Hal ini diamini Hakim Ben Ronald. Menurutnya, RI merasa bersalah dan takut usai melakukan tindakannya itu. RI mengaku melakukan tindakan tersebut seperti orang yang tidak sadar. ”Seperti ada bisikan ’ayo coba, ayo coba’,” kata Ben.
Atas tindakannya itu, RI dikenakan Pasal 76 d jo Pasal 81 Ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 76 c jo Pasal 80 Ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (feb/run)