METROPOLITAN - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak melegalkan ojek online (ojol) sebagai alat transportasi umum. Hal itu menjawab gugatan para pengemudi ojol yang cemburu lantaran tidak dibuatkan payung hukum layaknya taksi online.
Kasus itu bermula saat pengojek online, Yudi Arianto, dan 16 rekannya menggugat UU LLAJ. Mereka merasa haknya tidak dijamin UU. Apalagi merujuk pada taksi online, pengemudi taksi online dilindungi UU LLAJ. Atas hal itu, Yudi dkk menggugat hal itu ke MK. Apa kata MK?
”Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian putusan MK sebagaimana dikutip dari website MK.
Dalam putusan majelis yang terdiri dari Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Manahan Sitompul, I Dewa Gede Palguna dan Saldi Isra, disebutkan bahwa sepeda motor bukanlah moda transportasi.
”Sepeda motor bukanlah tidak diatur dalam UU LLAJ, sepeda motor diatur dalam Pasal 47 Ayat 2 huruf a UU LLAJ. Namun ketika berbicara angkutan jalan yang mengangkut barang dan/atau orang dengan mendapat bayaran, diperlukan kriteria yang dapat memberikan keselamatan dan keamanan,” ujar majelis.
Direktur Pembinaan Keselamatan Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Ahmad Yani mengatakan, langkah MK sudah tepat untuk menolak melegalkan ojol sebagai angkutan umum. Ia menilai salah satu penyebab sepeda motor tidak bisa menjadi transportasi umum karena faktor keselamatan. ”Harus diketahui motor memiliki risiko lebih besar dalam hal keselamatan,” ucap Ahmad, Jumat (29/6/2018).
Ia mengatakan, berdasarkan data, tren angka kecelakaan motor lebih tinggi dibandingkan jenis kendaraan lainnya.
Selain itu, jumlah pengemudi ojol yang semakin banyak dianggap tidak seimbang dengan kebutuhan penumpang. ”Antara penumpang dan jumlah ojol tidak seimbang, bahkan bisa-bisa lebih banyak ojol-nya dari penumpangnya. Karena itu penghasilan mereka juga tidak seperti dulu lagi, kan,” katanya.
Ahmad mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, kendaraan roda dua tidak termasuk transportasi umum.
Sementara itu di Kota Bogor, Kepala Bidang Angkutan pada Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor Jimmy Hutapea mengakui aturan tersebut tidak terlalu berpengaruh pada pola transportasi di Kota Hujan. Sebab, sejak awal pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor tidak mengatur keberadaan ataupun operasional ojek online sebagai angkutan umum. “Jadi yang diputuskan MK itu, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, yang juga dipedomani oleh Dishub Kota Bogor,” katanya saat dihubungi Metropolitan, kemarin malam.
Dia menambahkan, keputusan tersebut juga tidak berpengaruh terhadap kebijakan pengaturan angkitan umum di Kota Bogor, seperti misalnya terhadap rerouting atau konversi angkot ke bus sedang. “Tidak juga. Karena alasannya kan memang sejak awal pemda tidak atur operasional ojek online,” ujarnya.
Terpisah, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, awalnya publik menganggap keberadaan transportasi ini murah dan mudah memperolehnya. Dalam perkembangannya malah membuat wajah lalu lintas kota semakin tidak tertata. “Parkir sembarangan, trotoar digunakan sebagai jalur mobilitas dan parkir, kebiasaan melawan arus, handphone ditaruh diatas dashboard. Membahayakan bagi pengemudi dan penumpang. Belum lagi mengemudi sambil menggunakan earphone,” ucapnya.
Ia menyarankan, untuk sementara waktu, penyelenggaraan ojek online dapat diatur pemda, baik wilayah operasi maupun jam operasinya. “Layanan transportasi umum juga harus terintegrasi dan menggapai setiap kawasan pemukiman dan perumahan, supaya tidak kalah dengan online,” imbuhnya. (ryn/b/de/feb/run)