Senin, 22 Desember 2025

MK Resmi Tolak Ojek Online

- Sabtu, 30 Juni 2018 | 13:49 WIB

-

METROPOLITAN - Mahkamah Konsti­tusi (MK) menolak melegalkan ojek on­line (ojol) sebagai alat transportasi umum. Hal itu menjawab gugatan para penge­mudi ojol yang cemburu lantaran tidak dibuatkan payung hukum layaknya taksi online.

Kasus itu bermula saat pengojek online, Yudi Arianto, dan 16 rekan­nya menggugat UU LLAJ. Mereka merasa haknya tidak dijamin UU. Apalagi merujuk pada taksi online, pengemudi taksi online dilindungi UU LLAJ. Atas hal itu, Yudi dkk menggugat hal itu ke MK. Apa kata MK?

”Menolak permohonan para pe­mohon untuk seluruhnya,” demikian putusan MK sebagaimana dikutip dari website MK.

Dalam putusan majelis yang terdiri dari Anwar Usman, As­wanto, Arief Hidayat, Wahidud­din Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Manahan Sitom­pul, I Dewa Gede Palguna dan Saldi Isra, disebutkan bahwa sepeda motor bukanlah moda transportasi.

”Sepeda motor bukanlah tidak diatur dalam UU LLAJ, sepeda motor diatur dalam Pasal 47 Ayat 2 huruf a UU LLAJ. Namun ketika berbicara angkutan jalan yang mengangkut barang dan/atau orang dengan mendapat bayaran, diperlukan kriteria yang dapat memberikan kese­lamatan dan keamanan,” ujar majelis.

Direktur Pembinaan Kese­lamatan Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Ahmad Yani mengatakan, lang­kah MK sudah tepat untuk menolak melegalkan ojol se­bagai angkutan umum. Ia me­nilai salah satu penyebab se­peda motor tidak bisa menjadi transportasi umum karena faktor keselamatan. ”Harus diketahui motor memiliki ri­siko lebih besar dalam hal ke­selamatan,” ucap Ahmad, Jumat (29/6/2018).

Ia mengatakan, berdasarkan data, tren angka kecelakaan motor lebih tinggi dibandingkan jenis kendaraan lainnya.

Selain itu, jumlah pengemu­di ojol yang semakin banyak dianggap tidak seimbang dengan kebutuhan penumpang. ”An­tara penumpang dan jumlah ojol tidak seimbang, bahkan bisa-bisa lebih banyak ojol-nya dari penumpangnya. Karena itu penghasilan mereka juga tidak seperti dulu lagi, kan,” katanya.

Ahmad mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, ken­daraan roda dua tidak termasuk transportasi umum.

Sementara itu di Kota Bogor, Kepala Bidang Angkutan pada Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor Jimmy Hutapea mengakui aturan tersebut tidak terlalu berpengaruh pada pola transportasi di Kota Hujan. Se­bab, sejak awal pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerin­tah Kota (Pemkot) Bogor tidak mengatur keberadaan ataupun operasional ojek online sebagai angkutan umum. “Jadi yang diputuskan MK itu, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, yang juga dipedo­mani oleh Dishub Kota Bogor,” katanya saat dihubungi Metro­politan, kemarin malam.

Dia menambahkan, keputu­san tersebut juga tidak ber­pengaruh terhadap kebijakan pengaturan angkitan umum di Kota Bogor, seperti misalnya terhadap rerouting atau kon­versi angkot ke bus sedang. “Tidak juga. Karena alasannya kan memang sejak awal pemda tidak atur operasional ojek on­line,” ujarnya.

Terpisah, Pengamat Transpor­tasi Djoko Setijowarno menga­takan, awalnya publik mengang­gap keberadaan transportasi ini murah dan mudah mempero­lehnya. Dalam perkembangan­nya malah membuat wajah lalu lintas kota semakin tidak tertata. “Parkir sembarangan, trotoar digunakan sebagai jalur mobi­litas dan parkir, kebiasaan me­lawan arus, handphone ditaruh diatas dashboard. Membahaya­kan bagi pengemudi dan penum­pang. Belum lagi mengemudi sambil menggunakan earphone,” ucapnya.

Ia menyarankan, untuk se­mentara waktu, penyelengga­raan ojek online dapat diatur pemda, baik wilayah operasi maupun jam operasinya. “Lay­anan transportasi umum juga harus terintegrasi dan meng­gapai setiap kawasan pemuki­man dan perumahan, supaya tidak kalah dengan online,” imbuhnya. (ryn/b/de/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X