Minggu, 21 Desember 2025

TIAP JAM 6 PAGI SATU DESA SESAK NAPAS

- Rabu, 19 September 2018 | 09:19 WIB

METROPOLITAN - Siang itu, bau menyengat mulai tercium saat masuk Kampung Cikuda, Desa Wanaherang, Kecamatan Gunungputri, di bantaran Sungai Cileungsi. Terlihat warga di sana beraktivitas seperti biasa. Namun tidak bila pagi hari. Udara terasa lebih pengap dengan bau busuk yang bersumber dari aliran Sungai Cileungsi. Bahkan warga satu desa pun dibuat sesak napas akibat air sungai yang hitam pekat. Permukiman warga di Kam­pung Cikuda hanya berjarak sekitar 50 meter dari aliran sungai yang warnanya sudah hitam pekat disertai bau tak sedap. Di musim kemarau se­perti saat ini, udara di sana pun jadi makin tak bersahabat. Pekan lalu, gara-gara bau yang ditimbulkan, warga yang dido­minasi ibu rumah tangga itu mendatangi kantor Dinas Ling­kungan Hidup (DLH) Kabupa­ten Bogor. Mereka yang terga­bung dalam Komunitas Sri­kandi Sayang Sungai (S3) itu menuntut pemerintah segera menangani pencemaran sung­ai. “Kami merasakan sendiri ke­rusakan lingkungan yang ter­jadi akibat pencemaran sung­ai yang diduga keras disebabkan limbah dari pabrik-pabrik se­kitar,” kata Ketua Srikandi Sayang Sungai, Septiana, saat meng­gelar aksi, Kamis (13/9/2018). Septiana mengatakan, air dan udara bersih di lingkungan tempat tinggalnya saat ini sudah tercemar berat. Selain airnya berwarna hitam pekat, baunya juga sangat menyengat. “Sang­at jauh dari kelayakan akan kebutuhan standar hidup sehat yang menjadi kebutuhan dan hak asasi paling mendasar bagi setiap manusia,” ujar Sep­tiana. Berdasarkan penelusuran dan pantauan Metropolitan, di be­berapa titik tertentu di Desa Wanaherang, Kecamatan Gunungputri, banyak pabrik maupun rumah industri yang beroperasi. Posisinya juga tak jauh dari bantaran sungai. Ba­hkan di lokasi terpisah, sempat dijumpai paralon dengan ber­bagai ukuran menjuntai langs­ung ke arah sungai, sambil mengeluarkan cairan yang di­duga merupakan limbah dari rumah industri maupun rumah tangga. Menurut keterangan warga sekitar, aliran Sungai Cikuda memang kerap menjadi salah satu lokasi favorit membuang limbah, baik limbah pabrik, rumah industri hingga limbah rumah tangga dari sejumlah penduduk yang berjarak tidak jauh dari bantaran sungai. Lim­bah hasil pembuatan tahu dan tempe merupakan salah satu jenis limbah yang menjadi pri­madona di sekitar wilayah ter­sebut. ”Dari dahulu hingga sekarang, mayoritas warga sini produksi tahu dan tempe. Tapi kalau dulu tidak separah, sehi­tam dan sebau busuk ini. Se­pertinya ini berasal dari limbah pabrik, tapi saya tidak tahu secara pasti pabrik yang mana,” beber Heri (33), warga Kampung Cikuda, RT 02/05, kepada Met­ropolitan, kemarin siang. Hitamnya warna air Sungai Cikuda, sambung Heri, meru­pakan yang terparah sejak ting­gal di kampungnya puluhan tahun. Keadaan itu juga diper­parah dengan debit air yang kecil lantaran musim kemarau. “Kalau untuk dipakai minum kita tidak berani, lebih baik beli air galon. Jujur saja, dengan keadaan seperti ini kita tidak nyaman. Banyak juga warga yang sempat ngeluh. Tapi mau bagaimana lagi, banyak nyamuk, sampai sesak napas karena bau busuk, kita terima saja deh,” paparnya dengan nada pilu. Hal senada juga dirasakan Enoh (57), warga Kampung Cikuda, RT 02/06. Meski rumah Enoh berjarak lebih dari 300 meter dari bibir sungai, ia kerap merasakan sesak napas setiap pagi dan malam harinya, ter­lebih saat angin berembus kencang. “Dari saya kecil sampai seka­rang ini yang terparah. Baunya itu lho. Saya saja yang rumah­nya jauh dari sungai merasa keganggu banget dengan bau­nya. Apalagi kalau masuk habis Magrib, tengah malam dan Subuh pagi, sudah bau banget. Warga satu desa bisa sesak na­pas,” ungkapnya. Pria kelahiran 1961 itu menje­laskan, dahulu Sungai Cikuda merupakan salah satu destinasi bermain yang mengasyikan. Aliran sungai yang jernih, bersih dan indah, menjadi daya tarik sendiri bagi sungai tersebut. Namun semua itu berubah se­ketika kala Desa Wanaherang, Kecamatan Gunungputri, Kabu­paten Bogor, menjelma jadi salah satu pusat industri. Menurut Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cike­as Puarman, kondisi Sungai Cileungsi yang menghitam sudah terjadi sejak tiga bulan terakhir. ”Sungai Cileungsi ini sudah tiga bulan terakhir warna­nya hitam pekat dan berbau. Bahkan akhir-akhir ini makin hitam,” kata Puarman. Ia pun sempat melakukan penelusuran di Sungai Cileung­si. Dari hasil penelusurannya, hulu sungai di Jembatan Wika, Desa Tlanjungudik, kondisi airnya masih terpantau jernih. Namun sekitar 1 km setelahnya, tepatnya di Kampung Bojong, Desa Cicadas, airnya mulai menghitam. ”Di pos pantauan di Jembatan Cikuda, Desa Wa­naherang, Kecamatan Gunung­putri, Bogor, warnanya hitam sangat pekat,” ujar Puarman. Warga sekitar pun mengeluh­kan hal sama. Menurut Puarman, masyarakat sudah lelah mengeluh namun tidak ada tanggapan dari dinas terkait. ”Sudah mengeluh, mereka sudah capek, bingung mau bersuara ke siapa lagi kan. Setiap ada keluhan ke DLH Bogor sudah disampaikan, ke DLH Bekasi juga disampaikan,” kata Puarman. Kasus pencemaran Sungai Cileungsi memang menjadi perhatian. Beberapa waktu lalu, DLH Kabupaten Bogor menggelar pertemuan dengan DPRD Kabupaten Bogor untuk membahas persoalan tersebut. Hasil uji lab menunjukkan ka­dar air di sungai tersebut me­mang tercemar zat berbahaya. DLH: ADA 12 PERUSAHAAN YANG BUANG LIMBAH KE SUNGAI Kepala DLH Kabupaten Bogor Pandji Ksatriadji mengatakan, hasil uji lab menunjukkan baku mutu air di Sungai Cileungsi telah melebihi baku mutu air. Sehingga air sungai tersebut tidak bisa diminum warga ka­rena mengandung zat memba­hayakan. “Hasil uji lab memang pada umumnya dari parameter air, ada tiga yang melebihi baku mutu air. Tidak bisa diminum,” kata Pandji, belum lama ini. Pandji menjelaskan, ada 12 perusahaan yang membuang limbah hasil produksinya ke sungai. Meski demikian, tidak semuanya melewati ambang baku mutu. Dirinya mengaku sedang menelusuri sumber utama pembuang limbah yang membuat sungai tercemar. “Ka­lau pipa buangan yang ada di badan sungainya itu satu. Sele­bihnya ada yang mengarah ke sungai tapi kan tidak semuanya melewati ambang baku mutu. Kami sedang mencari sumber utamanya,” terangnya. Menurut­nya, selain hasil lab, pembaha­san dengan DPRD juga terkait kemungkinan adanya aturan lain yang ditabrak. Bahkan persoalan ini sudah dikoordinasikan dengan Pemerintah Bekasi karena lim­bahnya ikut mengalir hingga ke Bekasi.

Pandji berjanji akan mem­beri sanksi tegas kepada peru­sahaan yang terbukti mence­mari sungai tersebut. “Bekasi juga minta kami menegakkan aturan. Ini juga sudah dibahas dengan Dirjen Pengendalian Pencemaran pada KLHK. Kalau pembahasan dengan DPRD, selain uji lab, kami juga melihat aturan lainnya seperti garis sem­padan sungai. Ada yang melang­gar atau tidak,” pungkas Pandji. (ogi/fin/yos/d/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X