METROPOLITAN - Munculnya rencana pemerintah soal dana kelurahan Rp3 triliun menuai polemik. Tak sedikit yang beranggapan bahwa usulan itu bersifat politis karena digulirkan saat tahun pencoblosan. Meski begitu, program yang digadang Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) itu rupanya didukung penuh Wali Kota Bogor Bima Arya. Menurut Bima, dana tersebut memang dibutuhkan layaknya dana desa yang sudah digulirkan lebih dulu. Sebab, mayoritas penduduk yang tinggal di perkotaan harus dikelola tren urbanisasinya. Jangan sampai berbagai persoalan perkotaan seperti kemiskinan, pengangguran atau kesenjangan ekonomi, meledak sewaktu-waktu dan mengancam stabilitas nasional. Menurut politisi PAN ini, para wali kota se-Indonesia sangat menunggu kebijakan anggaran untuk kelurahan tersebut, dengan diiringi aspek perencanaan dan pengawasan yang tepat agar efektif dan tetap sesuai aturan. Terlepas dari isu penggunaan anggaran tersebut yang dinilai sarat kepentingan di tahun politik. “Kami dari Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menyambut baik. Kebijakan itu kami tunggu sesuai apa yang kami curhati ke presiden saat pertemuan di Istana Bogor, Juli lalu,” kata Bima kepada Metropolitan, kemarin. Lelaki yang juga wakil ketua Apeksi itu menambahkan, saat itu pihaknya menyampaikan beberapa hal yang dianggap menjadi atensi bersama, di antaranya kaitan kewenangan pengelolaan SMA/SMK, pengangkatan guru honorer K2, evaluasi sistem zonasi penerimaan siswa, kewenangan pemeliharaan jalan serta permohonan dana untuk kelurahan. “Waktu itu kami sampaikan berbagai hal. Saat membicarakan soal dana kelurahan, ya presiden bilang akan dikaji dan dikoordinasikan. Dana desa kan sudah lebih dulu. Intinya lepas dari isu penggunaan anggaran di tahun politik nanti, kami sambut baik kebijakan itu. Tinggal pelaksaaan, diimbangi perencanaan matang dan pengawasan bersama-sama,” bebernya. Dalam RAPBN 2019, pemerintah telah menganggarkan dana Rp3 triliun untuk memenuhi keinginan Apeksi soal dana kelurahan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran sebesar Rp3 triliun itu diambil dari pos Dana Desa di 2019. Sebelumnya anggaran Dana Desa di 2019 ditetapkan sebesar Rp73 triliun, kini anggaran Dana Desa hanya Rp70 triliun. “Dana Desa dikurangi Rp3 triliun yang digunakan untuk tambahan DAU (Dana Alokasi Umum, red) untuk mendukung pendanaan kelurahan,” katanya dalam rapat di Ruang Badan Anggaran DPR RI, Jakarta, Senin (15/10). Sri Mulyani menambahkan, pemerintah mengalokasikan dana tersebut karena kelurahan cemburu dengan desa yang memperoleh dana yang cukup besar. Diharapkan dengan adanya dana kelurahan, pembangunan di desa dan kelurahan dapat merata. “Karena ada kecemburuan terkadang ke desa. Khususnya nanti ditujukan untuk daerah dengan kapasitas fiskal yang terbatas,” papar Sri. Rupanya, kebijakan Jokowi itu dianggap politis oleh pihak lain karena pemberian itu bertepatan dengan agenda politik yang pilpres 2019. Menurut Wasekjen PAN Saleh Daulay Partaonan, Jokowi ingin mengejar target politik saat pilpres 2019 melalui kebijakan ini. ”Kenapa ini (kebijakan dana operasional desa dan kelurahan, red) baru (ada, red) menjelang pilpres 2019? Tentu ada banyak target yang ingin dicapai dan dikejar, salah satunya tentu saja target politik,” kata Saleh. Sedangkan Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria menilai pencairan dana kelurahan dilakukan sebelum pemilu maka keputusan tersebut terindikasi untuk kepentingan pribadi semata. Sehingga Gerindra mendorong agar dana operasional desa dan dana kelurahan itu dicairkan setelah pencoblosan pada 17 April 2019. ”Di pilpres, petahana tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya. Menjaga demokrasi dan keadilan,” ujar anggota Komisi II DPR RI ini. (feb/run)