METROPOLITAN - Hujan telah tiba. Bencana banjir pun kembali mengancam. Khususnya warga ibu kota yang kerap jadi langganan tetap banjir tahunan. Kondisi ini diperparah dengan makin tercemarnya aliran Sungai Ciliwung akibat ulah manusia. Bagaimana tidak, dari hasil penelurusan Komunitas Peduli Ciliwung (KPC), di Kota Bogor saja tercatat ada 5.652 bangunan yang jadi biang kerok Ciliwung mampet hingga mudah meluap dan mengakibatkan banjir. Diskusi normalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung antara Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dengan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) secara tak langsung membuka boroknya sebagian warga Kota Bogor. Sebab berdasarkan data KPC, ada 5.652 bangunan yang terindikaisi jadi biang kerok atas tercemarnya Sungai Ciliwung. Ketua KPC Een Iriawan menjelaskan, dari 5.652 bangunan itu tersebar di empat kecamatan. Yakni Kecamatan Bogor Timur sebanyak 1.977 rumah/KK, Kecamatan Bogor Tengah 1.491 rumah/KK, Kecamatan Bogor Utara 1.878 rumah/KK dan Kecamatan Tanahsareal 306 rumah/KK. “Mereka itu yang setiap harinya sering buang sampah ke sungai. Ada 5.652 rumah warga yang melakukannya,” kata Een. Saat melakukan kegiatan rutin, Satgas Naturalisasi Ciliwung sempat menemukan jalan-jalan kecil dari permukiman menuju bantaran sungai. Pihaknya menduga akses tersebut sengaja dibuat untuk membuang sampah ke sungai. Tak jarang, tumpukan sampah ditemukan hingga ke anak sungai, bahkan ke cucu Sungai Ciliwung. Pihaknya pun pernah menemukan bangunan tepat berada di pinggir sungai dan biasa membuang sampah langsung ke sungai. Terlihat dari pinggiran sungai yang tak jauh dari bangunan tersebut, terdapat banyak timbunan sampah. “Ada lah. Nah itu baru satu. Makanya membersihkan Sungai Ciliwung bukan perkara mudah dan harus ‘banyak tangan’, mulai dari pemerintah hingga warga,” paparnya. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, dari jumlah tersebut yang dipaparkan bersama asalnya, pihaknya bisa mengetahui titik mana saja warga yang ‘nakal’ masih membuang sampah ke sungai, atau warga yang terpaksa membuang sampah ke sungai karena keterbatasan fasilitas tempat sampah. Sehingga pemkot bisa membuat formulasi efektif dalam naturalisasi DAS Ciliwung. Menurutnya, ada tiga target utama dalam program naturalisasi DAS Ciliwung tersebut. Di antaranya untuk meningkatkan kualitas hidup warga, mencegah dan mengurangi risiko bencana serta menggenjot potensi wisata air. “Yang dipadukan dengan kampung tematik,” kata Bima selepas diskusi di bilangan Sempur, kemarin (5/11) petang. itu, politisi PAN ini juga bakal menggeser anggaran di berbagai titik lain, yang dianggap tidak terlalu dibutuhkan segera untuk dialihkan ke program naturalisasi DAS Ciliwung itu. Dari data yang disuguhkan KPC, pemkot bisa segera mendata wilayah mana memberi ‘sumbangsih’ sampah ke sungai. “Mana yang belum punya IPAL, mana daerah yang belum punya bak sampah. Nah itu fokusnya, anggarannya bisa kita geser dari bidang lain yang belum terlalu butuh cepat. Sekarang wilayah akan mendata dan memberi gambaran, termasuk biaya yang dibutuhkan untuk mengubah pelan-pelan kebiasaan warga itu,” ucapnya. Keberadaan sejumlah rumah di bantaran Sungai Ciliwung menjadi perhatian khusus Pemkot Bogor melalui Peraturan Daerah (Perda) Lingkungan Hidup (LH) yang berlaku sejak 2014. Pemkot Bogor mulai membenahi Sungai Ciliwung. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor Heri Karnadi mengaku terkejut saat menyusuri Ciliwung, tak kurang sepanjang 10 kilometer banyak ditemukan tumpukan sampah. “Temuan saya dari Kelurahan Sindangsari sampai Kelurahan Tajur (10 km, red) ada banyak permukiman biasa dan terstruktur yang buang sampahnya ke kali,” terangnya saat dikonfirmasi Metropolitan melalui telepon, kemarin malam. Melihat hasil temuannya tersebut, Heri mengaku kini tengah melakukan kajian terkait sejumlah warga yang banyak membuang sampah ke Sungai Ciliwung. Namun, pihaknya tidak langsung memberikan sanksi kepada masyarakat yang membuang sampah di bantaran Sungai Ciliwung tersebut. “Kita lihat dan data dulu kenapa mereka buang ke sungai. Apa tidak ada sarana pembuangan sampah atau memang sudah menjadi perilaku,” terangnya. Setelah mendapatkan hasil kajian, lanjut Heri, dirinya tidak segan memberikan sanksi kepada masyarakat. “Jika sudah ada sarana tempat sampah tetapi masih melanggar, itu artinya memang perilakunya yang buruk. Dan itu yang nantinya akan kita tindak,” katanya. Terkait denda perda, ia mengimbau untuk langsung menanyakan perihal tersebut ke LH. Sebab untuk Perda Kali Ciliwung tersebut ada empat perda yang mengatur dan sudah bisa digunakan sebagai payung hukum. Di antaranya Perda IMB, Perda Buang Sampah, Perda LH terkait pengelolaan limbah dan Perda PUPR. “Jadi ada empat perda. Tapi saya nggak hafal perdanya tahun berapa. Sementara terkait denda, saya belum bisa menjawab karena catatannya terdapat di kantor,” tandasnya. Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Wantannas Letjen Doni Monardo menjelaskan, untuk mengerjakan program naturalisasi DAS Ciliwung, pihaknya tidak bisa berjalan sendiri. Berkaca pada pengalamannya saat menjadi Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi yang ikut serta dalam program bersih-bersih Sungai Citarum, Jawa Barat, pemerintah setempat harus melibatkan berbagai elemen, dari akademisi, komunitas, pengusaha hingga ulama. “Sebab program besar seperti ini harus ada organisasinya untuk mengelola, harus jelas siapa komandonya dan siapa saja yang terlibat. Organisiasi ini juga harus membuat sistem yang dirancang untuk dikerjakan ahlinya,” kata Doni. Selain itu, program naturalisasi Ciliwung, menurut Doni, harus ada target waktu, mulai dari pekerjaan jangka pendek sampai jangka panjang. Sewaktu di Citarum, tuturnya, ada target yang mengharuskan enam bulan tidak ada lagi sampah di permukaan. “Apalagi Citarum pernah disebut sungai terkotor di dunia, ditulis di banyak media internasional. Nah, pengalaman itu juga bisa diterapkan di Ciliwung,” paparnya. Apalagi program ini juga lintas sektoral, sebab hulu sungai berada di wilayah Kabupaten Bogor. Sehingga perlu koordinasi yang baik dengan pemangku wilayah setempat. “Ini kaitan dengan banyak wilayah, makanya organisasi yang mengatur dan manajemennya harus jelas. Jangan lupa, harus cepat, harus ada target waktu. Dari pengamatan, kondisi lingkungan di hulu, termasuk cukup rusak akibat luas lahan penyerapan hujan yang terus berkurang,” tutupnya. (ryn/yos/d/mam/run)