Senin, 22 Desember 2025

5.652 Bangunan Jadi Biang Kerok Ciliwung Mampet

- Selasa, 6 November 2018 | 11:37 WIB

METROPOLITAN - Hujan telah tiba. Bencana banjir pun kembali mengancam. Khususnya warga ibu kota yang kerap jadi langganan tetap banjir tahunan. Kondisi ini diperparah dengan makin tercemarnya aliran Sungai Ciliwung akibat ulah manusia. Bagaimana tidak, dari hasil penelurusan Komunitas Pe­duli Ciliwung (KPC), di Kota Bogor saja tercatat ada 5.652 bangunan yang jadi biang kerok Ciliwung mampet hingga mudah meluap dan mengaki­batkan banjir. Diskusi normalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung antara Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dengan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) secara tak langsung membuka boroknya sebagian warga Kota Bogor. Sebab berdasarkan data KPC, ada 5.652 bangunan yang terin­dikaisi jadi biang kerok atas ter­cemarnya Sungai Ciliwung. Ketua KPC Een Iriawan men­jelaskan, dari 5.652 bangunan itu tersebar di empat kecamatan. Yakni Kecamatan Bogor Timur sebanyak 1.977 rumah/KK, Ke­camatan Bogor Tengah 1.491 rumah/KK, Kecamatan Bogor Utara 1.878 rumah/KK dan Ke­camatan Tanahsareal 306 rumah/KK. “Mereka itu yang setiap ha­rinya sering buang sampah ke sungai. Ada 5.652 rumah warga yang melakukannya,” kata Een. Saat melakukan kegiatan rutin, Satgas Naturalisasi Ciliwung sempat menemukan jalan-jalan kecil dari permukiman menuju bantaran sungai. Pihaknya men­duga akses tersebut sengaja di­buat untuk membuang sampah ke sungai. Tak jarang, tumpukan sampah ditemukan hingga ke anak sungai, bahkan ke cucu Sungai Ciliwung. Pihaknya pun pernah mene­mukan bangunan tepat berada di pinggir sungai dan biasa mem­buang sampah langsung ke sungai. Terlihat dari pinggiran sungai yang tak jauh dari bangu­nan tersebut, terdapat banyak timbunan sampah. “Ada lah. Nah itu baru satu. Makanya mem­bersihkan Sungai Ciliwung bukan perkara mudah dan harus ‘ba­nyak tangan’, mulai dari pemerin­tah hingga warga,” paparnya. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, dari jum­lah tersebut yang dipaparkan bersama asalnya, pihaknya bisa mengetahui titik mana saja warga yang ‘nakal’ masih membuang sampah ke sungai, atau warga yang terpaksa mem­buang sampah ke sungai ka­rena keterbatasan fasilitas tempat sampah. Sehingga pem­kot bisa membuat formulasi efektif dalam naturalisasi DAS Ciliwung. Menurutnya, ada tiga target utama dalam program natura­lisasi DAS Ciliwung tersebut. Di antaranya untuk meningkatkan kualitas hidup warga, mencegah dan mengurangi risiko bencana serta menggenjot potensi wi­sata air. “Yang dipadukan dengan kampung tematik,” kata Bima selepas diskusi di bilangan Sem­pur, kemarin (5/11) petang. itu, politisi PAN ini juga bakal menggeser anggaran di berbagai titik lain, yang dianggap tidak terlalu dibutuhkan segera untuk dialihkan ke program naturali­sasi DAS Ciliwung itu. Dari data yang disuguhkan KPC, pemkot bisa segera mendata wilayah mana memberi ‘sumbangsih’ sampah ke sungai. “Mana yang belum punya IPAL, mana daerah yang belum punya bak sampah. Nah itu fokusnya, anggarannya bisa kita geser dari bidang lain yang belum ter­lalu butuh cepat. Sekarang wi­layah akan mendata dan mem­beri gambaran, termasuk biaya yang dibutuhkan untuk mengu­bah pelan-pelan kebiasaan warga itu,” ucapnya. Keberadaan sejumlah rumah di bantaran Sungai Ciliwung menjadi perhatian khusus Pem­kot Bogor melalui Peraturan Daerah (Perda) Lingkungan Hidup (LH) yang berlaku sejak 2014. Pemkot Bogor mulai membenahi Sungai Ciliwung. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor Heri Karnadi menga­ku terkejut saat menyusuri Cili­wung, tak kurang sepanjang 10 kilometer banyak ditemukan tumpukan sampah. “Temuan saya dari Kelurahan Sindangsari sampai Kelurahan Tajur (10 km, red) ada banyak permukiman biasa dan terstruk­tur yang buang sampahnya ke kali,” terangnya saat dikonfir­masi Metropolitan melalui tel­epon, kemarin malam. Melihat hasil temuannya ter­sebut, Heri mengaku kini tengah melakukan kajian terkait sejum­lah warga yang banyak membu­ang sampah ke Sungai Ciliwung. Namun, pihaknya tidak langsung memberikan sanksi kepada ma­syarakat yang membuang sam­pah di bantaran Sungai Ciliwung tersebut. “Kita lihat dan data dulu kenapa mereka buang ke sungai. Apa tidak ada sarana pembuangan sampah atau me­mang sudah menjadi perilaku,” terangnya. Setelah mendapatkan hasil kajian, lanjut Heri, dirinya tidak segan memberikan sanksi ke­pada masyarakat. “Jika sudah ada sarana tempat sampah te­tapi masih melanggar, itu artinya memang perilakunya yang buruk. Dan itu yang nantinya akan kita tindak,” katanya. Terkait denda perda, ia mengimbau untuk langsung menanyakan perihal tersebut ke LH. Sebab untuk Perda Kali Ciliwung tersebut ada em­pat perda yang mengatur dan sudah bisa digunakan sebagai payung hukum. Di antaranya Perda IMB, Perda Buang Sam­pah, Perda LH terkait pengelo­laan limbah dan Perda PUPR. “Jadi ada empat perda. Tapi saya nggak hafal perdanya tahun berapa. Sementara terkait denda, saya belum bisa men­jawab karena catatannya ter­dapat di kantor,” tandasnya. Sementara itu, Sekretaris Jen­deral (Sekjen) Wantannas Letjen Doni Monardo menjelaskan, untuk mengerjakan program naturalisasi DAS Ciliwung, pi­haknya tidak bisa berjalan sen­diri. Berkaca pada pengalaman­nya saat menjadi Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi yang ikut serta dalam program bersih-bersih Sungai Citarum, Jawa Barat, pemerin­tah setempat harus melibatkan berbagai elemen, dari akade­misi, komunitas, pengusaha hingga ulama. “Sebab program besar seperti ini harus ada or­ganisasinya untuk mengelola, harus jelas siapa komandonya dan siapa saja yang terlibat. Organisiasi ini juga harus mem­buat sistem yang dirancang untuk dikerjakan ahlinya,” kata Doni. Selain itu, program naturali­sasi Ciliwung, menurut Doni, harus ada target waktu, mulai dari pekerjaan jangka pendek sampai jangka panjang. Sewak­tu di Citarum, tuturnya, ada target yang mengharuskan enam bulan tidak ada lagi sampah di permukaan. “Apalagi Citarum pernah disebut sungai terkotor di dunia, ditulis di banyak media internasional. Nah, pengalaman itu juga bisa diterapkan di Cili­wung,” paparnya. Apalagi program ini juga lintas sektoral, sebab hulu sungai be­rada di wilayah Kabupaten Bogor. Sehingga perlu koordinasi yang baik dengan pemangku wilayah setempat. “Ini kaitan dengan ba­nyak wilayah, makanya organi­sasi yang mengatur dan manaje­mennya harus jelas. Jangan lupa, harus cepat, harus ada target waktu. Dari pengamatan, kondisi lingkungan di hulu, termasuk cu­kup rusak akibat luas lahan penyera­pan hujan yang terus berkurang,” tutupnya. (ryn/yos/d/mam/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X