METROPOLITAN - Pembebasan lahan warga terdampak pembangunan flyover atau jembatan layang di perlintasan kereta api Jalan RE Martadinata, rupanya belum rampung. Dari sekitar 450 meter lahan yang dibebaskan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), masih ada pemilik tanah yang belum mendapat pencairan dana penggantian lahan. Penggantian lahan seluas 190 meter persegi atas nama Ayadi di Jalan RE Martadinata, RT 06/06, Kampung Lebakjawa, Kelurahan Kebonpedes, Kecamatan Tanahsareal, yang terdampak proyek senilai Rp97,4 miliar dari APBN itu, hingga kini belum juga dicairkan. Diketahui uang penggantian tersebut telah dititip melalui konsinyasi di Pengadilan Negeri (PN) Bogor. Perwakilan ahli waris, Nur Aeni, mengaku kecewa terhadap Pemkot Bogor, Badan Pertanahan Negara (BPN) dan PN Bogor. Sebab, proses dari pengadilan sudah dilakukan sejak 2016 lalu melalui surat penetapan atas pembayaran tanah tersebut. “Namun selama kami mengurus, belum bisa turun. Uangnya sudah dititip pengadilan tapi kami belum terima uang apa pun. Padahal pembangunan sudah mulai jalan. Belum lagi nilai penggantian juga kami tidak keberatan. Ya kami kecewa lah, makanya kami pasang spanduk bentuk kekecewaan,” katanya saat ditemui Metropolitan di kediamannya, kemarin. Ia melanjutkan, pada ketetapan dari PN Bogor melalui surat nomor 15/Pdt.P.Cons/2016/PN.Bgr bahwa tanah atas nama Ayadi di Jalan RE Martadinata RT 06/06, Kelurahan Kebonpedes, Kecamatan Tanahsareal, mendapatkan ganti rugi uang atas tanah seluas 190 meter persegi Rp1.140.000.000 dan bangunan senilai Rp91.300.000 yang terdampak pembangunan flyover Jalan RE Martadinata. “Total uang penggantiannya Rp1,23 miliar. Itu juga kami tidak keberatan. Karena itu yang hitung dinas ya, kami sih nggak. Kenapa sampai belum juga cair gitu,” ungkapnya. Ia bersama keluarga pun tidak tinggal diam dan selalu mengurus pencairan sesuai aturan. Namun, Nuraeni malah merasa mendapat pelayanan yang tidak mengenakkan. Sejak 2016, pihaknya merasa ‘dipingpong’ karena harus bolak-balik mulai dari PN Bogor, BPN sampai ke Dinas PUPR. “Misalnya dari PUPR, katanya ada berkas yang kurang dari BPN. Begitu ke sana, ada administrasi yang harus ada sebelumnya. Balik lagi, gitu saja terus. Padahal ini kan soal hak keluarga kami,” paparnya. Nuraeni pun meminta pemerintah segera menyelesaikan pembayaran kepada ahli waris. Secara umum, ia dan keluarga tidak keberatan adanya pembangunan yang merupakan kepentingan masyarakat luas. “Makanya harusnya hak kami juga diperhatikan. Selama ini, baru lurah yang turun menanyakan. Dulu mah ngukur-ngukur saja tapi nggak ada yang turun melihat dan menanyakan kondisi ini. Intinya keluarga akan tetap berjuang mendapatkan hak tersebut,” terangnya. Menanggapi hal itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat belum mengetahui perihal adanya kekecewaan warga terdampak pembangunan yang menyuarakan lewat spanduk di lokasi pembangunan. Buatnya, ketika ada konsinyasi ke pengadilan, artinya tidak ada kesepakatan soal penggantian lahan. Sedangkan pembangunan juga harus segera dilakukan. Maka secara regulasi, hal itu bisa dilakukan dengan kesepakatan nilai serta ketersediaan anggaran. “Belum tahu apa masalah dan kendalanya. Kalau soal dipersulit, rasanya tidak. Apalagi soal hak orang, nilai sepakat dan anggarannya ada. Kecuali status kepemilikannya belum jelas,” kata Ade. Karena itu, sambungnya, warga tidak perlu khawatir soal penggantian hak uang tersebut. Ketika kepemilikan jelas maka bisa diambil sesuai regulasi dan tahapan yang berlaku. Sebab pemkot, dalam hal ini Dinas PUPR sebagai pengguna anggaran, sudah tuntas pekerjaannya jika sudah lewat konsinyasi pengadilan. “Sekarang mungkin BPN perlu memperjelas, statusnya bagaimana. Pemilik tidak usah khawatir, apalagi sudah setuju harganya,” ungkapnya. Terpisah, Kepala Dinas PUPR Kota Bogor Chusnul Rozaqi pernah menjelaskan bahwa uang Rp14 miliar dari APBD 2018 dikeluarkan untuk melakukan pembebasan lahan. Hingga saat memulai pembangunan, pihaknya mengklaim pembebasan lahan sudah rampung dilakukan. Hanya ada satu bidang yang tengah mengurus administrasi sertifikat, menunggu hasil dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), lalu dibayar. “Itu tidak mengganggu proses (pekerjaan, red),” tuntasnya. (ryn/c/feb/run)