Senin, 22 Desember 2025

Warga Tagih Duit Ganti Lahan Rp1,23 M

- Kamis, 22 November 2018 | 08:43 WIB

METROPOLITAN - Pembeba­san lahan warga terdampak pembangunan flyover atau je­mbatan layang di perlintasan kereta api Jalan RE Martadinata, rupanya belum rampung. Dari sekitar 450 meter lahan yang dibebaskan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), masih ada pe­milik tanah yang belum menda­pat pencairan dana penggantian lahan. Penggantian lahan seluas 190 meter persegi atas nama Ayadi di Jalan RE Martadinata, RT 06/06, Kampung Lebakjawa, Kelurahan Kebonpedes, Kecamatan Tanah­sareal, yang terdampak proyek senilai Rp97,4 miliar dari APBN itu, hingga kini belum juga di­cairkan. Diketahui uang peng­gantian tersebut telah dititip melalui konsinyasi di Pengadilan Negeri (PN) Bogor. Perwakilan ahli waris, Nur Aeni, mengaku kecewa terhadap Pemkot Bogor, Badan Pertanahan Negara (BPN) dan PN Bogor. Sebab, proses dari pengadilan sudah dilakukan sejak 2016 lalu melalui surat penetapan atas pembayaran tanah tersebut. “Namun selama kami mengu­rus, belum bisa turun. Uangnya sudah dititip pengadilan tapi kami belum terima uang apa pun. Padahal pembangunan sudah mulai jalan. Belum lagi nilai peng­gantian juga kami tidak kebera­tan. Ya kami kecewa lah, maka­nya kami pasang spanduk ben­tuk kekecewaan,” katanya saat ditemui Metropolitan di kedia­mannya, kemarin. Ia melanjutkan, pada ketetapan dari PN Bogor melalui surat no­mor 15/Pdt.P.Cons/2016/PN.Bgr bahwa tanah atas nama Ayadi di Jalan RE Martadinata RT 06/06, Kelurahan Kebonpedes, Keca­matan Tanahsareal, mendapat­kan ganti rugi uang atas tanah seluas 190 meter persegi Rp1.140.000.000 dan bangunan senilai Rp91.300.000 yang ter­dampak pembangunan flyover Jalan RE Martadinata. “Total uang penggantiannya Rp1,23 miliar. Itu juga kami tidak keberatan. Karena itu yang hitung dinas ya, kami sih nggak. Ke­napa sampai belum juga cair gitu,” ungkapnya. Ia bersama keluarga pun tidak tinggal diam dan selalu mengu­rus pencairan sesuai aturan. Namun, Nuraeni malah merasa mendapat pelayanan yang tidak mengenakkan. Sejak 2016, pi­haknya merasa ‘dipingpong’ karena harus bolak-balik mulai dari PN Bogor, BPN sampai ke Dinas PUPR. “Misalnya dari PUPR, katanya ada berkas yang kurang dari BPN. Begitu ke sana, ada administrasi yang harus ada se­belumnya. Balik lagi, gitu saja terus. Padahal ini kan soal hak keluarga kami,” paparnya. Nuraeni pun meminta pemerin­tah segera menyelesaikan pem­bayaran kepada ahli waris. Se­cara umum, ia dan keluarga tidak keberatan adanya pembangunan yang merupakan kepentingan masyarakat luas. “Makanya ha­rusnya hak kami juga diperha­tikan. Selama ini, baru lurah yang turun menanyakan. Dulu mah ngukur-ngukur saja tapi nggak ada yang turun melihat dan me­nanyakan kondisi ini. Intinya keluarga akan tetap berjuang mendapatkan hak tersebut,” te­rangnya. Menanggapi hal itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor Ade Sarip Hidayat belum mengetahui perihal adanya kekecewaan warga terdampak pembangunan yang menyuarakan lewat span­duk di lokasi pembangunan. Buatnya, ketika ada konsinyasi ke pengadilan, artinya tidak ada kesepakatan soal penggantian lahan. Sedangkan pembangunan juga harus segera dilakukan. Maka secara regulasi, hal itu bisa dilakukan dengan kesepa­katan nilai serta ketersediaan anggaran. “Belum tahu apa masalah dan kendalanya. Kalau soal dipersu­lit, rasanya tidak. Apalagi soal hak orang, nilai sepakat dan ang­garannya ada. Kecuali status kepemilikannya belum jelas,” kata Ade. Karena itu, sambungnya, war­ga tidak perlu khawatir soal peng­gantian hak uang tersebut. Ke­tika kepemilikan jelas maka bisa diambil sesuai regulasi dan ta­hapan yang berlaku. Sebab pem­kot, dalam hal ini Dinas PUPR sebagai pengguna anggaran, sudah tuntas pekerjaannya jika sudah lewat konsinyasi penga­dilan. “Sekarang mungkin BPN perlu memperjelas, statusnya bagai­mana. Pemilik tidak usah kha­watir, apalagi sudah setuju har­ganya,” ungkapnya. Terpisah, Kepala Dinas PUPR Kota Bogor Chusnul Rozaqi per­nah menjelaskan bahwa uang Rp14 miliar dari APBD 2018 di­keluarkan untuk melakukan pembebasan lahan. Hingga saat memulai pembangunan, pihaknya mengklaim pembebasan lahan sudah rampung dilakukan. Ha­nya ada satu bidang yang tengah mengurus administrasi sertifikat, menunggu hasil dari Badan Per­tanahan Nasional (BPN), lalu dibayar. “Itu tidak mengganggu proses (pekerjaan, red),” tuntas­nya. (ryn/c/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X