METROPOLITAN - Nisya Saadah Wargadipura masuk kategori perempuan inspiratif. Ya, itu berkat idenya yang memberdayakan petani di Tanah Pasundan. Menariknya, Nisya dan sang suami, Ibang Lukman Nurdin, pakai cara istimewa dengan mendirikan pesantren yang mengedepankan aktivitas pertanian sebagai basis pendidikannya.
KUMANDANG azan sayup-sayup terdengar di Pesantren Ath Thaariq di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogongkidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kebetulan, lokasi pesantren berada di tengah hamparan sawah. Lepas petang, para santri pun berbondong-bondong mulai mengisi saf-saf masjid. Sejak 2008, Nisya dan suaminya sudah mengoperasikan pesantren berbasis ekologi. Di sana, para santri tak hanya belajar mengaji tapi juga bertani. Tiap Sabtu, Minggu dan hari libur nasional, mereka full di pesantren untuk berkebun dan beternak. Di atas lahan seluas 8,500 meter, Nisya dan Ibang membangun kompleks Pesantren Ath Thaariq. Dengan luas terbatas, Nissa bersama Ibang membagi lahan pesantren dalam dua zona. Yakni zona pertanian dan zona peternakan. Di dua zona tersebut ada area untuk beternak ikan dan unggas. Ada pula tempat pembibitan dan area untuk kebutuhan pertanian lain. Lalu ada bangunan utama yang dijadikan tempat tinggal keluarga Nisya-Ibang sekaligus untuk tempat tidur bagi para santri. Nisya dan Ibang memang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang pertanian atau peternakan. Namun pengetahuan mereka soal cara bertani dan beternak patut diacungi jempol. Buktinya, mereka mampu mengolah lahan di Pesantren Ath Thaariq dengan baik. Pertanian yang mereka kembangkan nyaris tidak pernah gagal panen. Kualitas panenannya juga tergolong bermutu. Begitu pula bibit unggul yang mereka produksi. Paling tidak, pengakuan itu tidak hanya datang dari kalangan pertanian dalam negeri. Sejumlah peneliti asing juga menyatakan ketakjuban mereka. Misalnya yang pernah diungkapkan peneliti dari Thailand dan Filipina yang secara khusus ’’mondok’ di Pesantren Ath Thaariq untuk menimba ilmu agroekologi. Agroekologi adalah sebuah sistem yang memanfaatkan keragaman hayati untuk mendukung pertanian. Misalnya untuk melawan hama tikus, para santri membiarkan predator tikus seperti ular untuk berkembang di lingkungan pesantren. Menurut Nisya, selama ini pesantren tidak pernah membasmi hama dengan bahan kimia. “Biarkan saja rumah-rumah ular itu ada. Biar ular-ular itu nanti yang memangsa hama tikus,” katanya santai. Dengan cara begitu, ekosistem di lahan pertanian itu pun tetap terjaga. Berkat keyakinan dan perjuangannya menjaga ekosistem pertanian selama ini, Nisya mendapat apresiasi dari pegiat dunia pertanian. Selain hama, pupuk yang digunakan di Ath Thaariq juga menihilkan campuran zat kimia. Pupuk untuk mengelola kebun harus organik. Dibuat dari kotoran hewan ternak. Karena itu, mereka tidak pernah membeli pupuk. Menurut Nisya, cara itu sudah lama dipraktikkan keluarganya sejak kakek-neneknya masih hidup. “Tanpa bahan kimia, mereka bisa. Tanamannya tumbuh subur,” ujarnya. (jp/feb/run)