METROPOLITAN - Tidak familiarnya para calon anggota DPD dari Dapil Jawa Barat membuat sejumlah pengamat politik angkat bicara. Salah satunya Yusfitriadi. Ia menjelaskan ada tiga hal yang menjadikan isu DPD di pemilu 2019 tenggelam. Pertama, secara kelembagaan DPD tidak dikenal masyarakat. Perangkat-perangkat parlemen yang sering menjadi bahan sosialisasi lebih ke DPR. Sehingga peran dan fungsi DPD kurang tersosialisasikan dan hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahuinya.
Kedua, pemilu serentak terfokus pada pilpres sehingga DPD semakin kurang diminati masyarakat karena ingar-bingar caleg pun berkurang. Ketiga, tidak ada ruang yang kuat, baik yang disediakan penyelenggara pemilu maupun calon DPD untuk bersosialisasi secara masif seperti calon DPR. “Jadi mereka kampanye sendiri-sendiri. Misal tidak ada rapat umum untuk DPD sehingga masyarakat semakin tidak mengenal. DPD semakin tenggelam di tengah hiruk pikuk pilpres,” kata Yusftriadi. Untuk tingkat keterpilihan, direktur Democracy Electoral and Empowerment Partnership (DEEP) itu mengaku ada dua pandangan. Pertama, banyak calon DPD yang mendompleng nama partai sehingga kampanyenya sekaligus digabung dengan kampanye caleg. Selain itu, sejumlah calon juga mengarah pada partai politik tertentu, bahkan digadang-gadang ikut di-support partai. “Ada juga stigmatisasi DPD dari partai mana, misal ada sempalan dari salah satu partai. Ini akan sedikit banyak berpengaruh juga. Apalagi di tengah gencarnya politik identitas. Ada kemungkinan DPD juga mengkristal di dua kubu, Jokowi dan Prabowo,” terangnya. Senada, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini memaparkan, tidak dikenalnya DPD di kalangan pemilih dipengaruhi tiga faktor besar. Pertama, kinerja dari DPD itu tersendiri yang sebagian besar tidak dirasakan atau bahkan tidak diketahui masyarakat. Kedua, dominasi akan ramainya pesta demokrasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemilihan presiden (pilpres) terlalu tinggi di kalangan masyarakat. Sehingga fokus dan perhatian masyarakat hanya tertuju pada pemilihan DPR dan presiden. Ketiga, luasnya wilayah dinilai menjadi faktor yang menyulitkan calon untuk menyambangi masyarakat. “Calon DPD maju independen atau berdiri sendiri tanpa bantuan partai politik atau kendaraan politik lainnya. Jadi saya rasa tiga faktor itu yang menyebabkan kurang terkenalnya DPD di kalangan masyarakat luas dan para pemilih,” katanya saat dikonfirmasi Metropolitan, kemarin. Kejadian atau fenomena tersebut tidak hanya di Bogor, melainkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tentu ini perlu menjadi perhatian khusus bagi mereka penyelenggara pesta demokrasi. “Fenomena itu saya rasa tidak hanya terjadi di Bogor saja. Hampir di seluruh wilayah Indonesia terjadi hal seperti itu,” tegasnya. Menurut Titi, hal tersebut menjadi catatan khusus bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk dapat mendistribusikan informasi yang masif kepada masyarakat. “KPU harus memperbanyak kanal media untuk bisa diakses para pemilih, khususnya data calon DPD. Semuanya harus bisa terunggah di sejumlah portal informasi dan daring KPU, juga dapat diakses masyarakat luas,” ungkap Titi. (fin/ogi/c/mam/run)