Senin, 22 Desember 2025

Beras Carita Makmur

- Senin, 18 Maret 2019 | 09:19 WIB

METROPOLITAN - Masalah yang belum tuntas di negara ini soal swasembada pangan. Khususnya beras. Impor­nya masih sulit ditekan. Tahun lalu saja impor beras menembus 2 juta ton. Terasa pahit memang. Jika diban­dingkan dengan tekad untuk mencapai swasembada beras sebagaimana yang diinginkan Presiden Joko Widodo.­

Mengutip catatan ekonom se­nior UI Faisal Basri, Indonesia sempat tidak mengimpor beras sama sekali pada periode 1985-1986. Di periode ini, Indonesia bahkan mengekspor beras ma­sing-masing 106 ribu ton pada 1985 dan sebanyak 231 ribu ton pada 1986. Setelah periode itu, ekspor pun meredup. Tidak per­nah lagi di atas 100 ribu ton. Ekspor tertinggi di masa Presiden Jokowi terjadi pada 2017. Itu pun hanya 3,5 ribu ton. Keberhasilan menekan impor beras pada Era Soeharto juga tidak sampai 10 tahun. Di masa itu pun Indonesia beberapa tahun harus mengimpor ratusan ribu ton pada 1995. Dan 1996 impor beras kembali melonjak tajam menjadi 1,3 juta ton dan 2,0 juta ton. Setahun kemudian nyaris tak mengimpor, tetapi pada 1998 ketika Presiden Soeharto “lengser” impor mencapai rekor tertinggi, yaitu 2,8 juta ton. Sementara di masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, impor beras ter­tinggi mencapai 2,75 juta ton yakni pada tahun 2011. Tantangan utama yang harus kita selesaikan adalah kesinam­bungan peningkatan produksi lewat peningkatan produktivitas dan manajemen stok. Dalam pencapaiannya pemerintah tak mesti terburu-buru. Lebih baik dikerjakan dengan terencana dan strategis. Utamanya menyangkut investasi dan perencanaan peng­embangan sumber daya manu­sianya. Agar program swasem­bada pangan juga tak jadi seka­dar wacana saja, pemerintah pun perlu mencanangkan program jangka pendek berupa pening­katan infrastruktur irigasi, jalan desa dan membantu pemasaran produk petani lokal. Di Kabupaten Bogor sendiri saya optimis target swasembada beras bisa tercapai. Saat Rebo Keliling (Boling) di Cariu pekan lalu, Pemkab Bogor telah me­luncurkan beras kemasan “Ca­rita Makmur”. Beras Carita Mak­mur ini merupakan beras pro­duksi lokal yang dihasilkan pe­tani di Kabupaten Bogor. Saat ini, produksi beras lokal yang dihasilkan baru mencapai 61 persen untuk memenuhi kebutuhan 5,8 juta warga Ka­bupaten Bogor. Padahal wi­layah lumbung padi yang kita miliki sangat luas yakni di Ca­riu, Tanjungsari, Sukamakmur, Tenjolaya, Nanggung, Jasinga, dan lain-lain. Oleh karena itu, beras pro­duksi lokal Carita Makmur ini adalah upaya Pemkab Bogor dalam mewujudkan 100 persen keterpenuhan beras lokal. Beras Carita Makmur juga merupakan cita-cita saya untuk meningkat­kan taraf hidup petani agar se­jahtera dan makmur. Disamping tentunya sebagai upaya mem­beri contoh masyarakat agar membeli beras lokal. Dalam tahap awal, beras ini akan didistribusikan ke hampir 20.000 Aparatur Sipil Negara (ASN). Setiap ASN di Kabupaten Bogor akan membeli 5 kilogram per bulan. Tahun pertama ini akan dialokasikan 85 ton per bulan untuk ASN membeli beras dari 18 kelompok petani. Nantinya, para petani diberikan uang muka dipertengahan bulan dengan masa penanaman 50 persen. Sisanya akan disetorkan 100 persen setelah beras benar-benar diterima Pemkab Bogor. Untuk pendistribusian kita akan berdayakan PD Pasar Tohaga sebagai unit usaha yang akan membeli gabah, digiling, lalu dikemas dan dijual kepada ASN. Ke depan beras Carita Makmur juga harus masuk ke hotel-hotel, restoran dan rumah sakit di Bo­gor. Masyarakat luar Bogor juga bisa membeli beras Bogor ka­rena produk beras petani kita ini tidak kalah dari beras impor. Jadi ayo kita bisa swasembada pangan! (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X