METROPOLITAN - Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Benny Cahyadi mengatakan, kejadian itu bermula saat keduanya saling ejek persoalan pribadi di media sosial. Akibat jiwa muda yang masih gampang meledak, keduanya lalu janjian untuk duel dengan masing-masing membawa celurit. ”Awalnya janjian ketemu jam tujuh pagi, lalu ditunda sampai akhirnya ketemu jam tujuh malam. Keduanya pun langsung duel disaksikan beberapa rekan masing-masing,” katanya di Mapolres Bogor, kemarin.
Dari keterangan saksi, menurut Benny, awalnya pelaku MR terkena sabetan celurit AH di bahu sebelah kanan hingga bercucuran darah. Pelaku MR kemudian membalas dengan membidik tangan kiri korban dan tepat sasaran hingga terluka. Adu jual beli serangan pun terjadi. Korban AH yang secara umur lebih tua daripada pelaku MR, kembali melancarkan serangan yang berbuah bacokan pada mulutnya hingga berlumuran darah. ”Kemudian setelah bersimbah darah di mulutnya, pelaku MR ini menikam celurit ke kepala korban sampai berdarah. Bahkan saat pelaku dan teman-temannya itu kabur, celurit masih menancap di kepala korban. Yang kemudian dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat,” paparnya. Kemudian, sambungnya, kakak korban pun melaporkan hal tersebut ke Polsek Ciampea. Dari tangan pelaku dan korban, pihak kepolisian mengamankan dua bilah celurit dan pakaian korban berwarna hitam. Benny menegaskan bahwa kasus ini murni duel antar-individu, bukan tawuran antarsekolah. Saling ejek juga melibatkan personal, meskipun sebelumnya tidak saling kenal. Pelaku dijerat tindak pidana kekerasan dengan anak di bawah umur yang menyebabkan meninggal dunia, melalui perkelahian tanding dengan perjanjian, tercantum dalam Pasal 80 Ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014, perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara. Peristiwa yang kerap terjadi di Bogor tersebut membuat sejumlah pihak angkat bicara. Tak terkecuali Ketua Dewan Pendidikan (Wandik) Bogor Apendi Arsyad. Menurutnya, berbagai kasus perkelahian yang melibatkan remaja atau pelajar membuat pemerintah daerah harusnya mendalami permasalahan kenakalan siswa itu dengan melakukan riset. Sehingga tahu persis faktor penyebabnya. Dari situ, dibuat program aksi yang fokus dan terarah menanggulangi kenakalan pelajar di Bogor. Hingga kini belum pernah dilakukan program pendidikan berbasis data riset. Selama ini pendekatannya melalui intuisi dan melalui kecelakaan, belum dari desain untuk memecahkan masalah. Apendi Arsyad juga menilai pemda harus memiliki program revitalisasi satgas pelajar yang ada, dengan kerja-kerja penanggulangan tawuran pelajar yang lebih profesional, berbasis data riset dan bertindak proaktif. “Bukan reaktif seperti blangwir pemadaman kebakaran bukan preventif,” tandasnya. Begitu juga dengan pendekatan preventif yang dilakukan melalui peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Pada umumnya, sekolah-sekolah ’pelanggan’ perkelahian adalah sekolah-sekolah yang buruk pelayanan pendidikan dan kurang layak atau tidak memenuhi delapan standar mutu pendidikan. Sehingga 18 karakter building siswa tidak tertanam dengan baik. “Sekolah-sekolah ’langganan’ tawuran harus dikontrol secara ketat dengan melakukan audit manajemen dan finansial oleh tim auditor independen. Sehingga mampu mengidentifikasi penghambat kemajuan satuan pendidikan,” paparnya. Tawuran ala ’gladiator’ tersebut memancing anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor Egi Gunadhi Wibhawa. Menurutnya, tawuran atau perkelahian yang melibatkan pelajar, secara umum terkait tiga hal. Pertama, tawuran atau perkelahian antarpelajar dipengaruhi proses kegiatan belajar mengajar yang dialami si pelajar. Ketika proses berjalan baik, tidak akan menelurkan anak yang suka berkelahi atau tawuran. “Boro-boro mikirin tawuran, motivasi belajar pasti baik. Yang pertama, harus dicek itu, massal atau sendiri-sendiri. Jika massal, ada persoalan sistem pendidikan di sekolah,” imbuhnya. Kedua, sambungnya, persoalan datang dari proses pendidikan orang tua di rumah. Jika di rumah harmonis, akan menular terhadap pergaulannya di luar rumah. Tidak akan terpikir menganiaya, bahkan membunuh makhluk hidup lain. “Nah, yang terakhir baru bicara penegakan hukum. Harus seperti apa. Melihat dia janjian di media sosial, ini jadi persoalan moral dan mental dari pendidikan keluarga. Media sosial sekarang kan bermata dua. Kalau kurang pengawasan jadi berbahaya,” ungkapnya. (ryn/c/ mam/run)