Minggu, 21 Desember 2025

Lagi, Pelajar Duel ‘Gladiator’ Maut

- Selasa, 19 Maret 2019 | 09:10 WIB

METROPOLITAN -  Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Benny Cahyadi mengatakan, kejadian itu bermula saat ke­duanya saling ejek persoalan pribadi di media sosial. Akibat jiwa muda yang masih gampang meledak, keduanya lalu janjian untuk duel dengan masing-masing membawa celurit. ”Awal­nya janjian ketemu jam tujuh pagi, lalu ditunda sampai akhir­nya ketemu jam tujuh malam. Keduanya pun langsung duel disaksikan beberapa rekan ma­sing-masing,” katanya di Mapol­res Bogor, kemarin.

Dari keterangan saksi, menurut Benny, awalnya pelaku MR ter­kena sabetan celurit AH di bahu sebelah kanan hingga bercucuran darah. Pelaku MR kemudian membalas dengan membidik tangan kiri korban dan tepat sasaran hingga terluka. Adu jual beli serangan pun terjadi. Korban AH yang secara umur lebih tua daripada pelaku MR, kembali melancarkan se­rangan yang berbuah bacokan pada mulutnya hingga berlumu­ran darah. ”Kemudian setelah bersimbah darah di mulutnya, pelaku MR ini menikam celurit ke kepala korban sampai ber­darah. Bahkan saat pelaku dan teman-temannya itu kabur, celu­rit masih menancap di kepala korban. Yang kemudian dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat,” paparnya. Kemudian, sambungnya, kakak korban pun melaporkan hal ter­sebut ke Polsek Ciampea. Dari tangan pelaku dan korban, pihak kepolisian mengamankan dua bilah celurit dan pakaian korban berwarna hitam. Benny mene­gaskan bahwa kasus ini murni duel antar-individu, bukan tawu­ran antarsekolah. Saling ejek juga melibatkan personal, me­skipun sebelumnya tidak saling kenal. Pelaku dijerat tindak pidana kekerasan dengan anak di bawah umur yang menyebabkan me­ninggal dunia, melalui perke­lahian tanding dengan perjanjian, tercantum dalam Pasal 80 Ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014, perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindun­gan Anak, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara. Peristiwa yang kerap terjadi di Bogor tersebut membuat sejum­lah pihak angkat bicara. Tak terkecuali Ketua Dewan Pendi­dikan (Wandik) Bogor Apendi Arsyad. Menurutnya, berbagai kasus perkelahian yang melibat­kan remaja atau pelajar mem­buat pemerintah daerah harus­nya mendalami permasalahan kenakalan siswa itu dengan melakukan riset. Sehingga tahu persis faktor penyebabnya. Da­ri situ, dibuat program aksi yang fokus dan terarah menanggulangi kenakalan pelajar di Bogor. Hingga kini belum pernah dilakukan program pendidikan berbasis data riset. Selama ini pendekatannya melalui in­tuisi dan melalui kecelakaan, belum dari desain untuk me­mecahkan masalah. Apendi Arsyad juga menilai pemda harus memiliki program revi­talisasi satgas pelajar yang ada, dengan kerja-kerja penanggu­langan tawuran pelajar yang lebih profesional, berbasis data riset dan bertindak pro­aktif. “Bukan reaktif seperti blangwir pemadaman kebaka­ran bukan preventif,” tandasnya. Begitu juga dengan pendekatan preventif yang dilakukan melalui peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Pada umumnya, sekolah-sekolah ’pelanggan’ perkelahian adalah sekolah-sekolah yang buruk pelayanan pendidikan dan kurang layak atau tidak memenuhi delapan standar mutu pendidikan. Se­hingga 18 karakter building siswa tidak tertanam dengan baik. “Sekolah-sekolah ’langganan’ tawuran harus dikontrol secara ketat dengan melakukan audit manajemen dan finansial oleh tim auditor independen. Se­hingga mampu mengidentifi­kasi penghambat kemajuan satuan pendidikan,” paparnya. Tawuran ala ’gladiator’ tersebut memancing anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor Egi Gu­nadhi Wibhawa. Menurutnya, tawuran atau perkelahian yang melibatkan pelajar, secara umum terkait tiga hal. Pertama, tawuran atau perkelahian antarpelajar dipengaruhi proses kegiatan belajar mengajar yang dialami si pelajar. Ketika proses berjalan baik, tidak akan menelurkan anak yang suka berkelahi atau tawuran. “Boro-boro mikirin tawuran, motivasi belajar pasti baik. Yang pertama, harus dicek itu, massal atau sendiri-sendiri. Jika massal, ada persoalan sistem pendidikan di sekolah,” imbuhnya. Kedua, sambungnya, persoalan datang dari proses pendidikan orang tua di rumah. Jika di rumah harmonis, akan menular terhadap pergaulannya di luar rumah. Tidak akan terpikir menganiaya, bahkan membunuh makhluk hidup lain. “Nah, yang terakhir baru bicara penegakan hukum. Harus seperti apa. Melihat dia janjian di media sosial, ini jadi persoalan moral dan mental dari pendidikan keluarga. Media sosial sekarang kan bermata dua. Kalau kurang pengawasan jadi berbahaya,” ungkapnya. (ryn/c/ mam/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X