METROPOLITAN - Awan putih pekat sore itu memayungi kawasan Puncak, tepat di Kampung Sukatani, RT 06/04, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Hilir mudik pengendara motor masuk ke kampung yang berdiri di lahan Perhutani itu. Tak sulit untuk menuju Kampung Sukatani karena berlokasi 1 kilometer sebelum Masjid Atta’Awun.
Kampung Sukatani yang dahulu diisi perkebunan teh, kini menjelma menjadi pemukiman warga. Bahkan vila-vila kembali bercokol usai dibongkar pada 2013 lalu oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bogor. Termasuk kamar mesum yang menjadi bisnis terselubung yang sudah menggurita. Hampir seluruh rumah di Kampung Sukatani itu disewakan pemiliknya untuk pasangan yang sedang berwisata di kawasan Puncak.
Masalahnya, banyak pengunjung yang menyewa kamar tersebut masih berusia bau kencur. Yakni pasangan ABG yang sengaja menikmati suasana Puncak sambil menyewa kamar. Wara-wiri mereka sudah jadi hal biasa bagi warga setempat. Pantas saja, sehari sebelum datangnya Bulan Ramadan, polisi bersama Satpol PP juga berhasil menciduk puluhan remaja dari vila serupa yang tak jauh dari Kampung Sukatani.
Hanya dengan merogoh kocek Rp55 ribu, setiap pasangan sudah bisa mendapatkan layanan kamar dengan fasilitas kasur dan kamar mandi di dalamnya. Seperti yang dipaparkan Edi (39), pengelola Vila Pelangi di Kampung Sukatani. Dalam satu malam setidaknya ada 40 pasangan masuk menyewa kamar di vilanya. Edi meyakini pasangan tersebut melakukan tindakan asusila. Sebab, hampir semua pasangan yang menyewa kamar di tempatnya hanya bertahan satu sampai tiga jam. “Jarang kalau ada yang nginap, mereka paling lama tiga jam,” ujar Edi kepada Metropolitan.
Tarif berbeda diberikan Edi bagi tamu yang menginap di vilanya. Jika dalam hitungan jam, Edi memberikan tarif Rp55 ribu. Sedangkan untuk menginap, ia memberikan tarif Rp105 ribu. Semua itu berbeda harga jika memesannya kepada calo di pinggir jalan. Harga kamar bisa naik tiga kali lipat. Untuk per jam saja mulai dari Rp150 ribu sampai Rp250 ribu, sedangkan untuk menginap mulai Rp250 ribu sampai Rp300 ribu. Vila yang dikelola Edi saat ini jauh lebih besar dari vilanya yang dibongkar pada 2013 silam. Saat ini setidaknya ada tiga bangunan dengan 17 kamar. Dalam sehari, setidaknya ia bisa meraup untung Rp1 juta dari kamarkamar yang disewakannya.
Meski demikian, keuntungan yang didapatnya harus dibagibagi dengan pihak tertentu, seperti RT/RW, pihak desa dan kecamatan. Semua itu dilakukannya agar usaha yang dilakoninya tetap aman. “Biasa yang begituan mah, saya pengin usahanya lancar kan,” paparnya. Seperti satu hari jelang bulan puasa, banyak sekali pasangan yang masuk ke vila yang dikelola Edi. Mulai dari usia belasan hingga pasangan tua dengan usia sekitar 50 tahun. Edi juga mengaku baru empat tahun terakhir mendirikan bangunan usai penggusuran beberapa tahun lalu.
Ia juga merasa cemas jika usahanya dirobohkan kembali. Sebab, modal yang dikucurkannya cukup besar untuk membangun vila tersebut. Edi juga menyadari bahwa lahan yang dibangun bukan miliknya, melainkan milik negara yang setiap saat bisa saja diambil dan dirobohkan. Hal itu yang membuat Edi tak sungkan memberikan upeti kepada warga sekitar atau pemerintah. Selain Edi, warga sekitar juga banyak yang menyewakan kamarkamar untuk jadi tempat mesum. Sebut saja Wahyu, yang menyewakan rumahnya untuk pasangan memadu kasih. Pantauan Metropolitan, sejak sore hari hingga pukul 03:00 WIB, puluhan kendaraan masuk area Kampung Sukatani. Mereka diantar calo yang menjajakan kamar di pinggir jalan.
Tak hanya menuju vila, pasangan tersebut juga masuk ke penginapan-penginapan milik warga. “Dari dulu kalau rumah aman nggak digusur, cuma vilavila saja yang digusur,” ungkap Wahyu. Dari pengakuan Wahyu, penghasilan warga sekitar selain dari berdagang di kawasan Puncak, mereka juga menyewakan rumah menjadi kamar mesum. Sedikitnya ada 30 rumah yang disewakan menjadi kamar mesum. Para ’tamu’ yang datang ke penginapan Wahyu, menurutnya, kebanyakan berasal dari luar Bogor seperti Depok, Bekasi, Tangerang dan Jakarta. Untuk warga Bogor sendiri kebanyakan penyewa merupakan pelajar. Mereka datang mulai pukul 13:00 sampai 16:00 WIB. Meski demikan, Wahyu tetap memberikan tarif yang sama yakni Rp60 ribu untuk tiga jam.
Dalam operasi yang digelar Satpol PP, Wahyu mengaku selalu mendapatkan informasi dari para penjaja kamar yang berada di pinggir jalan. Seperti beberapa hari lalu, Satpol PP tidak menemukan pasangan mesum di Kampung Sukatani, sebab para pengelola penginapan sudah mendapat informasi bakal ada operasi. “Seharian kita nggak terima ’tamu’ karena saya sudah dikasih tahu mau ada operasi,” katanya.
Meski memasuki bulan puasa, Wahyu mengaku tetap menyewakan kamar kepada para tamu. Meskipun awal Ramadan ini tamu yang menyewa kamar tak banyak seperti hari-hari biasanya. “Iya, ada saja kalau yang ngamar mah,” ungkap Wahyu. Kepala Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah pada Satpol PP Kabupaten Bogor Agus Ridhallahh mengaku sudah mengetahui adanya transaksi kamar mesum yang dijajakan warga. Termasuk dua kampung yang diakuinya selama ini berdiri di lahan milik Perhutani, yakni Kampung Naringgul dan Sukatani.
Agus menjelaskan, potensi yang terjadi di dua lokasi itu banyak kamar-kamar yang digunakan untuk praktik short time alias kencan singkat. ”Banyak laporan lah. Banyak warga hingga anak-anak SMA yang menggunakan kamar-kamar di sana untuk short time, atau orang setempat menyebut ’nyakeudeung’. Itu semua nggak ada izinnya,” sebut Agus. Pria berkacamata itu menambahkan, dua wilayah di Selatan Kabupaten Bogor tersebut juga mendapat perhatian lantaran menjadi incaran Satpol PP sejak lama. Karena selain bangunannya berdiri di lahan negara, juga aktivitasnya yang mulai meresahkan. “Secepatnya akan kami tertibkan. Misalnya untuk di Kampung Naringgul, yang dulunya pernah jadi target pembongkaran, namun urung terlaksana dan mesti tertunda. Ini akan jadi target untuk eksekusi selanjutnya,” katanya.
Sedangkan untuk di Sukatani, tambahnya, lebih parah lagi. Sebab, bangunan ilegal untuk esek-esek itu pernah dibongkar pada 2013 namun berdiri kembali dan menjadi tempat penyakit masyarakat. ”Bangunannya dulu pernah dibongkar pada 2013, tapi muncul lagi, ada lagi. Malah jadi tempat asusila. Ini juga akan kami sikat,” jelas Agus. Dikonfirmasi terkait keberadaan kamar mesum di lahan Perhutani, Wakil Kepala ADM Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor Moch Suparjo mengatakan, sejauh ini pihaknya belum pernah menerima laporan soal bangunan yang dipakai asusila, yang berdiri di atas tanah negara.
Namun, ia mengakui ada aturan yang membolehkan warga setempat menggunakan lahan Perhutani untuk dikelola. “Kebanyakan memang digunakan lahan pertanian, melalui program Kulin KK, mitra kelompok tani yang aturannya ada dalam peraturan menteri. Misalnya ditanami apa untuk meningkatkan produktivitas warga sekitar. Kalau untuk bangunan yang digunakan lokalisasi, belum pernah ada laporan. Mungkin di lahan milik warga,” katanya kepada awak media.
Namun ia memastikan jika ada lahan Perhutani yang digunakan sebagai ajang esek-esek, baik bangunan kerja sama dengan warga atau yang berbentuk lokasi wisata, bakal ditindak dan diproses sesuai aturan. Sebab dalam aturan kerja sama, tidak boleh digunakan tidak semestinya. “Di sana kan memang banyak vila-vila ya. Secara umum, pengaduan itu atau warung remang-remang, belum ada. Kita pastikan dulu. Kalau disalahgunakan yang tidak baik, ya akan kita proses,” tandas Suparjo.